[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="kerusuhan Jeddah/Saudigazette"][/caption] Pemerintah Indonesia kali ini dipermalukan sendiri oleh perwakilannya di Jeddah melalui KJRI yang tidak sigap dan terkesan amatiran. Sementara Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa harus mempertanyakan kembali kapasitasnya sebagai diplomat senior di Pejambon. Memang benar, Marty dan Menkopolhukam Djoko Suyanto masih sibuk berkabung atas kepergian negarawan Taufiq Kiemas pada saat bersamaan. Namun bukan berarti tidak ada koordinasi diantara Duta Besar dan Konjen di Jeddah terkait amnesti yang ditawarkan pemerintah Arab Saudi bagi pendatang "haram" kepada keduanya. Antisipasi bagi membludaknya saudara kita di seantero Saudi ke Jeddah tidak ada dalam perkiraan Kementrian Luar Negeri menunjukkan dengan jelas betapa minimnya perhatian pemerintah bagi para pahlawan devisa kita selama ini. Perhatian yang dimaksud selain kondisi dan situasi para calon pemohon pemutihan status, maupun dari segi jumlah mereka para TKI/TKW yang sebenarnya telah berada disana selama ini dan terkatung-katung. Amnesti yang diberikan kerajaan Saudi adalah angin segar sekaligus harapan bagi mereka untuk pulang dan atau mungkin bekerja kembali di negeri petrodollar itu. Ketika setitik harapan dan angin segar yang diharapkan segera tersedia di depan mata dan kemudian mengalami "intimidasi", maka dapat dibayangkan kondisi mental mereka ibarat bensin ditengah percikan api. Mudah terbakar.... Intimidasi yang dimaksud adalah selain perlakuan kasar dari petugas yang konon dari kerajaan Saudi, juga dari berlikunya proses yang masih harus mereka hadapi dari kantor perwakilan pemerintah mereka sendiri. Pemerintah yang selama ini mereka harapkan tapi tidak mampu berbuat apa-apa akan kenyataan dan keberadaan mereka yang terkatung katung. Mulai dari isu suap dan uang pelicin, harga yang bervariasi dan tidak sama untuk dokumen SPLP yang sama, cuaca yang tidak mengenal iba dan antrean yang tidak kunjung berkurang membuat mereka seketika frustasi dan benar benar berada diluar kendali mereka sendiri. Pembakaran diluar tembok KJRI Jeddah dapat disangka sebagai bentuk pelampiasan amarah yang selama ini terpendam bagi pemerintah di Jakarta dan Pejambon (Kemenlu) khususnya. Meskipun Menkopolkukam Djoko Suyanto lebih mudah menuduh ada provokasi diantara para pengantre yang berujung pada kematian seorang nenek tua, namun pemerintah seperti tidak melihat akar permasalahan sebenarnya. Akumulasi kemarahan dari pungli, pengabaian hingga perhatian yang tidak manusiawi seperti terabaikan. Mengenai amatirnya keberadaan KJRI di Jeddah mungkin dapat dimaklumi jika jumlah mereka yang hanya puluhan harus melayani puluhan ribu saudara sebangsa mereka. Dan kita tidak menyalahkan hal itu. Yang disayangkan adalah dimana Kemenlu dan Kemenpolhukam selama ini yang seolah tidak mengetahui jumlah mereka yang nasibnya sedang terbengkalai??? Jika benar pemerintah mengetahui jumlah pasti para TKI yang "tertawan" di negeri asing, lalu mengapa mereka tidak dapat mengantisipasi lonjakan yang demikian massive ketika ada "pengampunan" dari penguasa setempat? Â pun pula jika pemerintah mengetahui akan ada lonjakan yang berpotensi antrian demikian besar, mengapa kemenlu tidak menambah personil yang bertugas sekalian membenahi sistem prosedur pembuatan SPLP? Pertanyaan yang mudah memang, tapi begitu sulit jika pemerintah hanya ingin mempermalukan diri sendiri dimata dunia Internasional. ; ; =SachsTM=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H