Catur, gitar dan menyanyi adalah ciri yang cukup melekat dengan orang Batak
Tapi aku selalu malu mengaku sebagai orang Batak. Bukan karena akan mendapat kesan kampungan yang bicaranya keras-keras dan kasar, bukan pula karena gengsi di-cap sebagai orang yang hidup di terminal atau bahkan tukang tambal ban yang banyak terdapat di pinggir jalan Ibukota.
Kita tahu, profesi apapun sebenarnya dapat di tempati oleh suku apapun di Indonesia yang merdeka ini kecuali jabatan Sultan, Patih dan Abdi Dalem-nya karena harus asli dan biasanya turun temurun. Namun demikian, orang Indonesia terutama di Jakarta dan Jawa Barat, sering meng-assosiasikan profesi tertentu dengan suku tertentu, seperti pengacara yang seolah lahan orang Batak dan pedagang pakaian yang berarti orang Padang/Minang misalnya.
Sedikit banyak, hal ini mempengaruhiku juga. Aku bisa(*) main catur tentu saja, aku juga bisa(**) main gitar, tetapi aku benar benar jeblok dalam hal tarik suara sebagai syarat memenuhi kualifikasi untuk bangga disebut sebagai Orang Batak.
Aku tentu saja pernah ke Gereja, namun selalu gagal mengeluarkan suara untuk pujian bagi yang Maha Tinggi, mengingat suaraku yang nge-bass nan fals yang membuatku minder.
"Pokoknya ancur banget deh..."Â begitu pernah komentar tulus dari seorang teman yang sangat beruntung mendengar aku menyanyi di kamar mandi kost.
Sejak itu, aku bertekad untuk benar-benar tidak akan mempermalukan diri dengan menyanyi dekat manusia lain karena khawatir membuat telinga mereka menderita.
"Selalu ada saatyang pertama". Begitu istilah yang sering kita dengar dari orang bijak.
Dan itu berlaku juga bagiku, Sebutlah tanggal 15 Agustus kemarin tepatnya hari Sabtu, ketika aku mengikuti sebuah workshop menulis dengan tema: Menjadi Penulis Handal, yang diadakan oleh penerbit ternama di toko buku terpopuler juga dengan tutor alias pembicara utama yang namanya sedang menanjak di dunia kepenulisan.
Dalam sebuah sesi workshop itu, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari lima atau enam orang yang kemudian di tugaskan untuk mementaskan salah satu adegan atau kejadian yang terdapat dalam buku sang tutor. Sementara kelompok lain ada yang memilih adegan ibu-ibu yang terjatuh didalam gerbong kereta, ada juga yang memilih bagian pengemis cilik di angkot yang di-omelin ibunya sendiri karena malu melihat anaknya mengemis dan menyuruh mengembalikan uang yang di berikan orang-orang dan lain-lain yang aku lupa, mengingat kelompok kami juga gugup mempersiapkan adegan pilihan kami.
Tanpa perasaan kelompok kami dengan suara pecah berbusa-busa memilih adengan berjudul pengemis amnesia dan dengan tega memilih aku sebagai aKtor utama.