Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jokowi Terlalu Tangguh untuk Dihadapi?

19 Februari 2013   21:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:02 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="673" caption="Source Photo: Liputan6.com"][/caption] Netralitas Panwaslu Jabar perlu dipertanyakan terkait rekomendasi agar pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki dikenai sanksi akibat dukungan kampanye dari  Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Netralitas yang dimaksud bukan untuk sentimen pada Rieke - Teten semata tetapi juga perlakuan yang tidak sama atas setiap calon pasangan yang ada. Meskipun bukan orang Jabar, kita yang berada diluar arena mudah melihat atau setidaknya mendengar bahwa telah terjadi ketidakjelasan dalam wewenang Panwaslu dalam memutuskan apakah Pasangan Cagub/Cawagub tertentu sudah melanggar aturan atau bukan. Misalnya, Rieke dan Teten terancam tidak bisa mengikuti kampanye hingga batas waktu yang telah ditentukan karena mengundang Jokowi sebagai pejabat negara (Gubernur) dalam kampanye terbuka di Bandung pada akhir pekan lalu. Pertanyaannya, apakah kehadiran Jokowi adalah tabu bagi pilkada Jabar? Harus diakui bahwa keempat pasangan calon lain tentu risau cenderung galau demi melihat dukungan orang paling populer saat ini (Jokowi - pen) bagi Rieke - Teten. Dan kehadiran atau dukungan Jokowi sebagai sesama kader Banteng akan menimbulkan ketakutan untuk kalah pagi para pesaing PATEN di Jawa Barat. Tanpa bermaksud menyanjung, Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki memang pasangan yang tangguh untuk calon lain, apalagi jika masih dibantu Jokowi dan Megawati disaat bersamaan (di Pilgub Jabar 2013 ini), siapa yang tidak khawatir kalah? Jokowi ibarat idola rakyat yang ingin ditiru siapapun yang ingin menjadi pemimpin sekaligus ditakuti mereka yang tidak satu partai / satu atap dengannya. Tapi entah bagaimana, ternyata Panwaslu memiliki ketakutan yang sama karena tiba tiba saja urusan cuti seorang Jokowi menjadi bahan pertimbangan. Bukankah cuti Jokowi adalah urusan Kemendagri? artinya jika ada orang yang harus mendapat sanksi, Jokowi lah orangnya, bukan PATEN. Kenapa pula Panwaslu merasa memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang boleh untuk membantu kampanye siapa yang tidak boleh selama itu tidak menyalahi aturan soal politik uang, SARA , umbul2 atau "black Campaign" lain? (seperti pidato Rhoma Irama, misalnya) Lalu, Bagaimana soal iklan komersial milik cawagub Nomor 4 yang tidak dilarang oleh Panwaslu? Bukankah itu juga masih bisa diperdebatkan karena menyangkut kode etik? Demikian juga Iklan Cagub / Petahana yang berseliweran dengan dalih pemuda membangun, Apakah ini tidak mendapat perhatian dari Panwaslu? Memang berbeda kasusnya terkait kehadiran Jokowi dan iklan komersil maupun kegiatan Aher, tapi secara jelas terlihat bahwa iklan itu juga seharusnya melanggar ketentuan kepantasan karena menjadikan satu calon memiliki kesempatan untuk tampil lebih banyak di  media tanpa embel embel Iklan Pemilu. Jika pasangan nomor urut 4 Pilgub Jabar memiliki sikap dan sifat kesatria, seharusnya mereka juga mau legowo atau sadar diri bahwasannya tidaklah sportif jika iklan produk atau kegiatan tertentu yang menampilkan sosok mereka tetap tayang sementara mereka sedang mengincar jabatan umum/publik. Ataukah Aher dan DM tidak memiliki sikap Ksatria dan Etika? Dan jika soal cuti Jokowi menjadi bagian pertimbangan Panwaslu Jabar, lalu adakah juga wewenang yang sama dimiliki oleh Panwaslu untuk  menghentikan sementara iklan komersial (diluar iklan kampanye) calon lain? Disinilah letak ketidak-netralan itu. Kita masih ingat, ketika Ketua DPR Marzuki Ali mengeluhkan beberapa artis yang sudah menjadi anggota Legislatif (termasuk Mbak Rieke 'Oneng' ) tetapi masih tampil di Iklan, Rieke Diah Pitaloka langsung menolak semua tawaran iklan dan menghentikan kontraknya dengan produk bersangkutan. Maka, sebaiknya mereka yang memiliki banyak iklan juga seharusnya melakukan hal yang sama ketika mereka sedang mencoba menjadi kepala daerah. Dan Panwaslu atau KPU atau Bawaslu atau apalah namanya sebaiknya memiliki wewenang untuk menghentikan tayangan iklan komersil mereka jika musim kampanye sedang berlangsung. Saya ingat ketika Perdana Menteri Thailand, Samak Sundaravej digugat dan dimakzulkan karena tampil di acara demo memasak di stasiun tv negara itu. Barrack Obama memiliki banyak iklan kampanye politik tapi tak satupun dari iklannya berupa program pemerintah, produk komersil atau lainnya dengan embel embel pariwisata atau pemuda amerika misalnya. Mungkin ini bisa jadi bahan pertimbangan... walaupun pertanyaan besar masih berkecamuk dikepala saya, Bisakah Panwaslu Jabar berpikir Netral? . . =SachsTM=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun