Saat yang tepat "menghabisi" Joko Widodo adalah saat banjir Jakarta sudah benar benar surut. Joko Widodo - biasa dipanggil Jokowi - bersama pasangannnya Ahok sudah gagal total dalan mengatasi banjir di Ibukota. Sampah menggunung, jalanan berlubang, rekayasa cuaca yang boros nan sia sia, dan sibuk bersepeda dengan mantan juara dunia MotoGP Jorge Lorenzo ketika Jakarta tergenang adalah amunisi sekaligus pintu masuk. Kali ini Jokowi takkan bisa berkelit dan hanya janji kosong melompong.
Perkiraan kemerosotan popularitas Jokowi sudah dimulai sejak tahun berganti. Demikian dekatnya hari hari menjelang pemilu menuntut setiap gerak langkah politisi adalah tebar tambat pesona. Dari sekedar undangan perkawinan di lorong sempit hingga berita besar sejamak bencana di berbagai wilayah. Apalagi banjir ibukota, dimana Jokowi ada disana, sumber berita nomor satu di Indonesia. Siapa yang tidak bisa mereguk keuntungan darinya, jangan sebut anda politikus sebenarnya.
Dimulai dari tingkat keterpilihan Jokowi sebagai bakal calon Presiden 2014 yang menurun dari 36 persen menjadi 28 persen terkait ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerjanya sesuai rilis dari pendiri Pusat Data Bersatu (PDB) Didik J. Rachbini. Meski tidak menyebutkan kinerja yang dimaksud secara terperinci, Didik juga mengemukakan, tidak tahu apakah usai banjir yang melanda Jakarta saat ini elektabilitas Jokowi sang Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta akan menurun lagi atau tidak. (sekilas dari antaranews.com)
Hasil survei PDB, menunjukkan dari bulan September 2013 sampai Januari 2014 Jokowi memperoleh elektabilitas senilai 36 persen, pada awal Januari ini elektabilitasnya tinggal 28 persen. Survei PDB itu dilakukan pada 4 hingga 8 Januari 2014 yang menggunakan wawancara telepon terhadap 1.200 responden di 11 kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar, Balikpapan, Makassar, dan Jayapura, dengan rentang kekeliruan (margin of error) kurang lebih 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. (Kompas.com)
Hal menarik dari pernyataan Didik adalah seputar kualitas tokoh yang masuk jajak pendapat.
Meski elektabilitas Jokowi masih tertinggi dibandingkan dengan sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai bakal calon presiden 2014-2019, PDB dalam survei tersebut mengungkap bahwa Jokowi dianggap masih kalah dari sisi kualitas jika dibandingkan dengan peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat, Anies Baswedan.
"Jokowi memang bagus secara elektabilitas, tapi kalah soal kualitas dengan Anies," kata Didik.(antaranews.com).
Kemudian,
Ketidakpuasan pada Jokowi yang tidak dirinci dan pertanyaan seputar kualitas calon yang menonjolkan seseorang adalah hal yang patut dikritisi. Kemana arah survey dimaksudkan?
Hampir semua orang yang terbiasa dengan berita politik dan akrab dengan dunia pendidikan akan mengarahkan telunjuk pada Rektor Paramadina, Anies Baswedan jika ditanya soal kualitas. Tetapi bahkan kualitas juga memiliki beberapa diversifikasi persepsi bagi setiap individu. Pertanyaannya, apakah motivasi dibalik pertanyaan kualitas seseorang yang di sisipkan tersendiri dalam jajak pendapat, sementara kinerja dan keterpilihan adalah tema yang dihaturkan? Siapa yang diuntungkan dari pertanyaan itu?
Sementara kinerja yang tidak memuaskan di awal tahun akan menjadi ujian tersendiri bagi para pengagum Jokowi. Apakah mereka akan tetap setia pada pilihannya atau terpengaruh pada hasil survey? Apakah mereka realistis ataukan hanya ikut ikutan? Mereka yang setia dan realistis adalah mereka yang biasanya melihat sebuah kinerja secara keseluruhan. Sepanjang tahun bahkan sebelum Jokowi menjadi Gubernur.
Sedangkan yang berpaling biasanya mereka yang ikut ikutan, mereka yang mudah terbawa arus pembentuk opini, seperti hasil survey. Menilai kinerja seseorang sepotong sepotong, berdasarkan waktu sesaat dan emosionl egoistis. Contohnya menilai Jokowi -Ahok hanya dari banjir, macet atau molornya beberapa program. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu kalau ada penghalang yang tidak bisa diterobos. Seperti APBD yang tidak kunjung disahkan DPRD DKI atau bahkan kementerian PU yang lelet, misalnya.
Lambannya kinerja Jokowi yang dihalangi birokrasi PU, BPN dan terutama DPRD DKI tidak pernah menjadi pertimbangan dalam menentukan kualitasnya. Rakyat kita terbiasa pada hasil dipermukaan dan itu adalah peluang terbuka bagi politikus lain. Sebab ada beberapa nama yang dipaksakan untuk laik pilih di Pilpres mendatang sehingga survey di awal tahun adalah bagian dari strategi mengukur diri sembari merontokkan nama pemimpin klasemen itu.
Ditambah lagi, banjir adalah berkah yang mendukung upaya menggembosi tingkat keterpilihan seorang unggulan seperti Jokowi. Mereka yang mencoba mengambil peluang menaikkan popularitas diri ditengah ketidakberdayaan Jokowi adalah sah sah saja. Politikus sebenarnya adalah mereka yang mampu mengambil keuntungan dari gerak pembuat berita, tebar tambat pesona dari kemalangan langkah sendat lawannya dan itu bisa dilakukan dari dekat atau jauh tak kentara.
Termasuk melakukan survey survey aneh yang mengarahkan pertanyaan sekalipun.
Ada satu kegagalan cukup fatal yang selalu diulang beberapa lembaga survey, yaitu mereka tidak pernah bertanya,
Apakah anda mau hidup susah jika Jokowi jadi presiden?
Jokowi mungkin akan tergelincir di tengah banjir, oleh banjir. Ini sangat menggembirakan bagi calon lain yang terus memoles diri, sementara mereka lupa dan terpenjara pertanyaan lain, "Bilakah Jokowi Jadi Capres?".
=Sachsâ„¢=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H