Sedangkan yang berpaling biasanya mereka yang ikut ikutan, mereka yang mudah terbawa arus pembentuk opini, seperti hasil survey. Menilai kinerja seseorang sepotong sepotong, berdasarkan waktu sesaat dan emosionl egoistis. Contohnya menilai Jokowi -Ahok hanya dari banjir, macet atau molornya beberapa program. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu kalau ada penghalang yang tidak bisa diterobos. Seperti APBD yang tidak kunjung disahkan DPRD DKI atau bahkan kementerian PU yang lelet, misalnya.
Lambannya kinerja Jokowi yang dihalangi birokrasi PU, BPN dan terutama DPRD DKI tidak pernah menjadi pertimbangan dalam menentukan kualitasnya. Rakyat kita terbiasa pada hasil dipermukaan dan itu adalah peluang terbuka bagi politikus lain. Sebab ada beberapa nama yang dipaksakan untuk laik pilih di Pilpres mendatang sehingga survey di awal tahun adalah bagian dari strategi mengukur diri sembari merontokkan nama pemimpin klasemen itu.
Ditambah lagi, banjir adalah berkah yang mendukung upaya menggembosi tingkat keterpilihan seorang unggulan seperti Jokowi. Mereka yang mencoba mengambil peluang menaikkan popularitas diri ditengah ketidakberdayaan Jokowi adalah sah sah saja. Politikus sebenarnya adalah mereka yang mampu mengambil keuntungan dari gerak pembuat berita, tebar tambat pesona dari kemalangan langkah sendat lawannya dan itu bisa dilakukan dari dekat atau jauh tak kentara.
Termasuk melakukan survey survey aneh yang mengarahkan pertanyaan sekalipun.
Ada satu kegagalan cukup fatal yang selalu diulang beberapa lembaga survey, yaitu mereka tidak pernah bertanya,
Apakah anda mau hidup susah jika Jokowi jadi presiden?
Jokowi mungkin akan tergelincir di tengah banjir, oleh banjir. Ini sangat menggembirakan bagi calon lain yang terus memoles diri, sementara mereka lupa dan terpenjara pertanyaan lain, "Bilakah Jokowi Jadi Capres?".
=Sachsâ„¢=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H