Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

BI Tidak Akui Bitcoin, Juga Tak Larang, Gamang?

9 Februari 2014   01:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh mata uang digital yang sempat membuat publik bertanya-tanya dan menunggu keputusan otoritas keuangan Bank Indonesia (BI), terjawab sudah. Intinya, BI menegaskan bahwa mata uang digital seperti bitcoin dan virtual currency (VC) lainnya yang tengah booming setahun terakhir bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Dalam hal ini, BI merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. BI tidak dengan tegas melarang peredaran VC di Indonesia tetapi mereka hanya menghimbau kepada masyarakat agar berhat-hati terhadap Bitcoin dan VC lainnya. Hal ini terkait segala risiko terkait kepemilikan atau penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh mereka yang memiliki atau menggunakannya.

Meskipun tidak diakui sebagai mata uang di Indonesia, para pemilik Bitcoin tidak perlu resah dengan harta virtualnya itu. Karena dengan demikian bitcoin juga bisa masuk dan dikategorikan sebagai komoditas atau instrumen investasi seperti emas. Rupiah adalah alat pembayaran resmi di Indonesia namun Dolar AS dan emas juga bisa eksis dan berharga, sehingga Bitcoin ini bisa dianggap seperti komoditas seperti emas namun peredarannya tidak diatur oleh BI. Sebagai instrumen investasi, komoditas Bitcoin nantinya dapat meniru emas untuk bertransaksi dengan menggunakan sistem barter.

Langkah BI dalam menyikapi mata uang maya ini memang tidak setegas seperti yang dilakukan oleh pemerintah China. BTC China seperti dilansir USA Today, Jumat (19/12/2013), melaporkan bahwa akibat dari pelarangan tersebut, untuk sementara penggunaan mata uang Yuan dalam transaksi Bitcoin tidak dapat digunakan. People's Bank of China ( BI-nya Negeri Tirai Bambu) menyebutkan jika Bitcoin tidak memiliki status hukum yang jelas dan terlarang untuk diperjual-belikan.

Dampak pelarangan oleh PBC menekan telak nilai tukar Bitcoin hingga merosot secara drastis. Pada akhir November 2013, nilai tukar Bitcoin menyentuh rekor di atas USD 1.100 perkepingnya. Hingga rilis USA Today (19/12/13) nilai tukar Bitcon menurun hingga 18% menjadi atau 'hanya' USD 558 dan dijual dengan nilai terendah USD 422,50 perkeping. Apa yang dilakukan oleh China juga dilakukan berapa negara di Eropa seperti Norwegia dan Denmark.

Mata uang maya seperti Bitcoin dan lainnya adalah uang yang digunakan sebagai metode pembayaran digital dan memerlukan software khusus untuk proses transaksi jual-beli. Software transaksi Bitcoin pertama kali muncul pada tahun 2009 yang dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto. Sejak itu hingga kini, banyak konsumen yang mencoba peruntungan dalam melakukan transaksi uang virtual. Bitcoin sendiri dianggap mampu memberikan kemudahan akses bagi para calon investor dan kompatibel dengan semua jenis mata uang di dunia. Tidak terkecuali dengan Indonesia dimana seperti biasa, kita adalah pengguna yang suka latah.

Sayangnya mata uang yang konon ditemukan oleh Satoshi Nakamoto tidak berbadan hukum. Inilah polemik bagi para pelaku ekonomi termasuk pengamat, karena pemerintah tidak bertanggung jawab atas berbagai transaksi yang dilakukan. Meski demikian, bitcoin dikenal sebagai alat tukar yang tahan terhadap pemalsuan.

Jika anda bersikeras ingin memiliki uang maya seperti Bitcoin ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui dan jadi pertimbangan seperti, aspek keamanan. Mata uang virtual ini cukup aman karena sulit dipalsukan. Hal ini karena aturan kriptografi yang diterapkan pada bitcoin membuat para pemiliknya terhindar dari risiko yang sama.

Uang virtual ini juga boleh dianggap sangat berorientasi global dan diterima tanpa mengenal batas negara. Diklaim dapat menekan atau melindungi laju inflasi yang berlebih, hingga bisa dianggap sebagai bentuk tabungan versi modern yang tidak mengenal birokrasi rumit ala perbankan.

Tetapi, keunggulan seperti diatas juga bukan hal yang mutlak, karena biasanya ada kemudahan ada pula resiko yang menanti.

Resiko pada uang maya ini terletak pada masih terbatasnya pengguna berupa korporasi atau produk yang menggunakannya sebagai alat pembayaran. Bahkan resiko paling besar ada pada sistem yang seharusnya mendukung keberadaannya. Seperti resiko kehilangan seketika karena sifatnya yang digital, maka harus disimpan dalam bentuk digital pula. Pemilik biasa menyebut sebagai wallet file.

Wallet file ini ibarat dompet anda sendiri secara fisik yang biasa menyimpan uang tunai. Bedanya kalau di dompet anda bisa menyimpan kartu ATM dan atau gambar orang terkasih dan bisa disentuh. Sementara wallet file yang disimpan di hard disk komputer atau elektronik device hanya bisa didilihat. Belum lagi file yang disimpan akan tergantung pada peralatan yang sangat rentan pada kerusakan.

Ancaman virus yang menyerang hard disk juga dapat membuat bitcoin yang tersimpan hilang begitu saja. Dompet digital tersebut juga dapat diretas dan dicuri melalui malware. Banyak ahli retas yang dapat membuat anda miskin seketika. Atau resiko terhapus tanpa sengaja ibarat kehilangan semua isi dompet tanpa bisa ditelusuri kemana hilangnya tuh harta?

Dari kelebihan dan kekurangan diatas, sepertinya BI fokus pada alasan bahwa VC sangat potensial digunakan untuk tindak kriminal. Tindak kriminal ini antara lain pencucian uang ( money loundering ) atau menghindari pajak. Penggunaan mata uang maya seperti bitcoin tidak dikontrol pemerintah atau lembaga keuangan yang berwenang. Ketiadaan kendali pemerintah ini juga membuatnya seolah tak berharga dan ilegal, karena VC ala bitcoin tidak didukung oleh perundang-undangaan yang sah di mata hukum.

Sesuatu yang baru memang sering susah diterapkan, tetapi visi dan konsistensi uang maya ini bisa jadi akan menjawab kebutuhan masa depan. Bukankah era digital perlu pernik digital? Dan bukankah semua hal - kedepannya - akan bersinggungan dengan hal yang berbau digital? Tetapi apakah itu termasuk alat bayar?

Melihat kelebihan dan kekurangan VC diatas, dapat disimpulkan bahwa keistimewaannya hanya pada kemudahan saja, ibarat voucher voucher belanja yang ditawarkan. Kemudahannya tidak sebanding dengan resiko yang mengintai.

Sumber:USA-Today/Bloomberg/liputan6.com

=Sachsâ„¢=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun