Selama musim durian, itu adalah masa yang tepat berkunjung ke Negeri Batak. Jika dihitung dengan usia, ini adalah tahun kesepuluh bagi saya meninggalkan keluarga di "Pegunungan Mistis" itu dan mencari pengalaman ke luar "negeri" dalam mengisi hari dan hatiku. Saya masih yakin bahwa selera "gaya hidup" saya untuk musik dan makanan lahir dari sana, termasuk juga seperti cinta untuk ubi, durian, dan tentunya pemandangan yang dramatis terdiri dari deretan pegunungan berkabut yang terjal mencolok yang berakhir di danau biru mengejutkan. Jika kita ingin mendapatkan kesan dan pengalaman mistis, saya berpendapat bahwa saya bahkan juga tertarik pada praktek meditasi dari duduk bersila (tidak pada kaki, pikiran Anda, tapi di atasnya) dengan aroma jeruk purut dan kemenyan. [caption id="" align="alignnone" width="420" caption="Doc.Riyanthi Sianturi"][/caption] Begitulah... Bagaimana kita menjadi siapa kita? Bagaimana tempat, estetika, sebuah geografi spiritual, merasuk ke diri kita? Sangat mudah untuk menyendiri dengan Danau Toba dan membayangkannya sebelum tahun 1900-an (Sebelum Elio Modligiani/Italia mengumumkan pada dunia tentang kebenaran adanya danau terluas di atas gunung), terutama melalui mata nostalgia 10 tahun yang melihat semua itu dari kejauhan: dari sebuah rumah modern terlindung dari jalan oleh dinding, dari sensasi di mana kita berenang, mengambil pelajaran Bahasa asing, dan menonton film-film Hollywood. Keluargaku yang ada disana sekarang, dalam situasi yang jauh lebih modern, dan mungkin akan memberi anda pandangan berbeda tentang Batak yang perkasa dimana Kerajaan Minang, Aceh dan Samudera Pasai bahkan Belanda tidak mampu mengambil tempat itu dengan beragam kejadian politik di pesisir/pantai. Saya putra Bangsa Batak dan diri saya ingin menjadi Batak yang tak tersentuh karena "danau berkabut" yang eksotis. Sekarang, sebelum tuduhan Primordialisme meluncur tepat ke arah saya (saya menduga demikian, walaupun jelas ini adalah subyektif tapi ini selalu tentang diri kita sendiri), biarkan saya mengungkapkan kecintaan saya, bahkan jika tampaknya tidak masuk akal atau membosankan dan kampungan yang udik konvensional. [caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Pandangan kita berjalan menyusuri waktu, mencampur dan memisahkan kuno dan modern, pedesaan dan perkotaan, lapisan waktu dan tempat dalam kehidupan sehari-hari kita"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H