Upaya media sekelas Tempo sedikit terkendala pasca kedatangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ke Surabaya untuk bertemu Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Sabtu (1/3/2014). Pertemuan singkat yang berlangsung di Bandara Juanda itu memberi gambaran betapa Bu Risma sudah harus menerima kenyataan bahwa beliau tidak boleh maju - mundur dengan posisinya yang strategis bagi kota besar Surabaya. Tempo adalah media yang paling gencar mengekspos "perselisihan" masa lampau dengan menghubungkannya dengan niat mundur sang buldozer, Tri Rismaharini.
Seperti yang sudah penulis ungkap sebelum ini, bahwa ada saatnya Risma harus memahami situasi dan posisi politik yang harus diambil oleh Wisnu Sakti Buana demi mendekat ke "opposisi"yang coba gulingkan kekuasaan Risma. Dalam wejangan singkat di lounge bandara itu, Mega mengingatkan Risma bahwa Walikota Surabaya mendapat dukungan penuh dari partai pengusungnya, meski banyak yang coba mengadu domba. Sebenarnya, sebelum pertemuan ini, Megawati sebenarnya telah bertemu dengan Risma terkait niatnya mengundurkan diri dari kursi Walikota Surabaya. Pertemuan itu digelar di Jakarta pada Minggu 23 Februari lalu.
Ulasan penulis soal bocoran posisi WSB yang kemudian diangkat menjadi Headline oleh Kompasiana dan dikonfirmasi oleh sumber di DPC PDIP Surabaya. Mungkin sulit memahami keterkaitan posisi WSB dkk di PDIP soal isu pemakzulan tiga tahun silam dengan berita yang dihembuskan secara berulang oleh Tempo online. Berita yang menjadi rujukan beberapa orang yang juga dari kalangan wartawan, bahkan Kompasianer sekelas Ira Oemar. Tetapi, apa yang terjadi sebenarnya adalah tekanan hebat yang dialami oleh segenap Legislator PDIP Surabaya dan jajaran DPC yang kebetulan bukanlah mayoritas di Yos Sudarso 18.
"Saya tidak mengizinkan Ibu Risma mengundurkan diri dan tetap bekerja untuk rakyat, melanjutkan program pemerintah Kota Surabaya," ujar Megawati.
Sedangkan Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana yang juga kader PDIP, diminta Megawati untuk membantu Risma, "Melaksanakan seluruh garis kebijakaan dan keputusan yang diambil Walikota Surabaya," lanjut Megawati dalam jumpa pers itu.
Kehadiran Megawati bersama Jokowi juga menjadi sorotan beberapa media dan sudah diantisipasi oleh Mega terkait berita yang akan muncul kemudian dengan menyebut, "kenapa harus bersama Jokowi?".
Kembali ke Tempo,
Media yang biasanya sering menampilkan berita investigasi melalui majalah dan korannya ini memang sering keluar jalur dengan berlindung dibalik "sumber berita yang harus dilindungi". Tempo sering memanfaatkan posisinya selaku media nasional dan mainstream untuk menggiring opini yang tidak pada porsinya. Ada perbedaan mendasar antara 'berita" dengan "fakta", meski keduanya berasal dari data yang mungkin sama. Adalah kesalahan besar bagi Kompasianer jika kita hanya mengutip berita yang banyak beredar - terutama di dunia maya - namun lupa membuat kesimpulan garis besar dari beberapa sajian berita yang sebenarnya berbeda, meski topiknya sama.
Seperti yang saya sebut diatas, Tempo meradang jika upaya mereka memecah belah PDIP Surabaya dengan kader potensialnnya seperti Tri Rismaharini, gagal oleh sebab kedatangan Megawati. karena sebenarnya, tidak ada tekanan politik dari PDIP kepada eksekutifnya, sementara media yang mengaitkan ucapan Risma yang tertekan disimpulkan seolah-olah PDIP yang melakukan. Bukankah Kebun Binatang Surabaya (KBS) yang membuat Risma begitu tertekan sementara dana yang dimiliki untuk menyelamatkan satwa satwa hanya cukup untuk tiga bulan kedepan? adakah yang tahu hal ini?
Belum lagi berbagai teror dan fitnah yang menghantui Risma dan keluarga serta partainya yang berkeinginan menutup lokalisasi hingga penyerobotan lahan KBS yang ingin dijadikan gedung mewah? atau Jalan Tol tengah kota, misalnya. Tekanan politik Risma bukan hanya datang dari internal politisi lokal Surabaya melainkan dari yang lebih tinggi lagi, Jawa Timur. Upaya yang dilakukan Risma dengan memberi laporan kepada KPK terkait kerapian para koruptor di Jawa Timur adalah bagian dari tekanan politik itu sendiri.
Dengan melihat begitu kompleks dan berakarnya kekuasaan yang menggerogoti efisiensi daerah Jawa Timur, adalah sebuah tantangan berat bagi siapapun yang memerintah tanpa dukungan mayoritas di sebuah pemerintahan. Apalagi Surabaya yang strategis itu. Tidak heran jika Tempo dengan segala kepentingan dibelakangnya, untuk menaikkan oplah atau bahkan jika berhasil ditunggangi sebuah kepentingan yang tidak jelas, bisa jatuh dalam pusaran berita "katanya- katanya". Saya tidak ingin terlalu jauh mengungkap siapa dibelakang Tempo dalam kepentingan Surabaya kali ini, karena sebelumya Tempo tidak pernah mengambil posisi "dimanfaatkan" untuk membuat berita berulang ulang dengan konsep yang sama. ***(Anda dapat membaca laman daring media itu atau bahkan versi cetaknya jika perlu untuk menelusuri semua berita terkait Risma dan Surabayanya, termasuk majalahnya -pen).