Kalangan menengah atas perlu mendukung rencana pemerintah menerapkan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas handphone sebesar 20%. Setelah mereka menikmati subsidi BBM tanpa merasa bersalah, pajak bagi perangkat pendukung itu boleh jadi akan memberi beberapa keuntungan selain soal pendapatan negara.
Keuntungan itu antara lain, membuat perusahaan produsen handphone setidaknya berpikir untuk mendirikan pabrik produksi di Indonesia. Produksi di Indonesia, selain meminimalkan harga produksi, juga akan membantu produsen memudahkan penetrasi pasar menyambut ekonomi terbuka masyarakat ASEAN.
Sementara, bagi industri ponsel dalam negeri juga akan menggeliat dan memperkaya pilihan konsumen dalam memilih produk dalam negeri. Selama ini, pabrikan ponsel dalam negeri sulit bersaing dengan modal raksasa sekelas merek ternama dari negeri ginseng. Mereka hanya jadi penonton dan seolah dibiarkan berjalan tanpa sokongan pemerintah yang seharusnya mendukung industri anak bangsa.
Broadband.
Memang benar bahwa saat ini pengguna internet broadband lewat perangkat mobile di Tanah Air tiap tahun terus tumbuh signifikan. Masyarakat telah memanfaatkan perangkat tersebut untuk berbagai keperluan pendukung aktifitas primer sehari hari terutama untuk akses informasi, pendidikan, bisnis dan sebagainya.
Penerapan pajak impor barang bagi ponsel premium akan turut melambungkan harga perangkat itu. Akibatnya mungkin akan menyulitkan orang membeli produk dimaksud. Dan itu bisajadi akan mengurangi daya akses masyrakat untuk kegiatan berinternet melalui ponsel terkena pajak.
Namun alasan ini terlalu egois dan kurang masuk akal, jika niatnya hanya ingin menghalangi niat pemerintah mengenakan pajak. Sebab, tugas pemerintah adalah mencoba memaksimalkan penerimaan pajak demi target APBN. Melindungi dan mendukung industri lokal serta mendidik masyarakat mengurangi budaya hidup mewah warganya.
Bagi orang-orang yang berdaya beli rendah, mereka tidak harus memaksakan diri melengkapi diri dengan produk impor hanya untuk tampil modis. Produk dalam negeri juga tidak kalah kualitas dalam mendukung akses informasi yang dibutuhkan. Sebab harga dan merek impor bukan keharusan.
Dalam rencana jangka panjang, Indonesia sendiri sebenarnya punya komitmen mengembangkan infrastruktur broadband ke seluruh pelosok Tanah Air hingga 2025. Kekhawatiran soal harga handset kian mahal karena terkena pajak tidaklah perlu berlebihan. Sebab investasi sektor telekomunikasi sektor ini akan akan tetap menggiurkan dengan potensi pasar yang sanga dahsyat.
Lagipula, kita perlu menyadari bahwa faktor penetrasi broadband yang tinggi telah terbukti akan berpengaruh terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi suatu negara hingga 10%. Dengan pajak 20% hanya untuk produk premium, maka sebenarnya penetrasi broadband tidak akan terhambat, apalagi mempengaruhi ekonomi Indonesia. Bukankah pengguna perangkat diatas 5 jutaan itu terbatas dan jelas bukan kalangan yang ingin berhura hura.
Resiko Black Market.
Dampak pengenaan pajak bagi produk ponsel tersebut mungkin ada pada kebiasaan watak Indonesia yang serba tidak taat hukum. Diyakini, pelanggaran hukum akan kian marak dengan peredaran handphone melalui pasar gelap (black market). Para importir nakal akan berupaya mencari segala vara untuk menyeludupkan produk ke konsumen agar terhindar dari beban pajak. Pengawasan yang lemah dan komitmen aparat menegakkan hukum yang lemah adalah tantangan tersendiri. Mudahnya aparat disuap akan memuluskan derasnya produk sejenis terkena pajak masuk pasar gelap melalui jalur tak resmi.
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara memang sering terkendala oleh aparaturnya sendiri yang berjiwa korup. Ini masih ditimpali dengan lemahnya pengawasan dan sering berlindung dibalik rendahnya anggaran pengawasan. Padahal, gaji pejabat Bea Cukai dan Polisi sendiri sebenarnya adalah gaji fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Sayangnya jiwa dan mental merekalah yang mudah terbeli.
Bagaimanapun, semua masih dalam tahap pembicaraan intensif soal kebijakan pengenaan pajak ponsel impor sebesar 20 persen.
Pertanyaan saya yang ambigu bin konyol ini adalah...
1. Jika yang terkena pajak adalah ponsel berharga Rp. 5 juta keatas, maka bagaimana dengan yang dibanderol Rp. 4.999.998 ?
2. Lalu, bagaimana mungkin kita masih keberatan dengan pajak ponsel seharga diatas, tapi masih menikmati subsidi BBM tanpa malu?
Bukankah barang mewah akan semakin mewah kalau diberi pajak mewah? Orang semenjana Indonesia terkadang agak aneh. Maunya berlagak kaya dan gaya tapi maunya barang mewah yang murah tanpa pajak. Ibaratnya, ingin pakai Ferrari tapi isi bensin jenis premium, bila perlu oplosan solar sekalian. :)
=Sachsâ„¢=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H