Ada upaya memaksimalkan kasus bus TransJakarta, yang telah menyeret bekas Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta Udar Pristono, menjadi alat penjegal karir politik seseorang. Kasus tersebut kini terus bergulir dan membawa nama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk disingkirkan demi kepentingan yang merasa memiliki musuh yang sama. Jokowi pun semakin kuat diperdengarkan sebagai ikut berperan dalam perkara yang diduga merugikan keuangan negara Rp53 miliar itu.
Melalui Udar Pristono, yang juga bekas anak buah Jokowi, nama Gubernur DKI Jakarta dicoba dibawa dengan bersaksi bahwa Jokowi mengetahui proses pengadaan bus TransJakarta. Ia bahkan membuat klaim bahwa ia memiliki bukti berupa video dan gambar sebagai bukti keterlibatan mantan atasannya itu.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang menangani kasus ini belum memastikan keterlibatan Jokowi. Namun kita sendiri telah mengetahui bahwa lembaga itu belum dapat dipercaya untuk urusan penanganan kasus korupsi di negeri ini. Terlebih Kejagung masih rentan bermain dan dipermainkan politisi yang dekat dengan pro status-quo.
Sebagai kepala daerah, Gubernur DKI Jakarta tentu mengetahui kebijakan yang dibuatnya, tapi kalau ada yang melakukan penyimpangan pada kebijakannya, itulah yang seringkali menjadi celah bagi politisi untuk meraih keuntungan dari nama yang dibusukkan. Terlebih ini adalah momen kritis menuju pilpres dan nama Jokowi masih menjadi unggulan bagi pemilih.
Beberapa pihak malah ada yang berusaha mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pro aktif mensupervisi kasus tersebut agar ada kejelasan. Bila perlu, status hukum bagi Jokowi juga diarahkan untuk menjadi "sesuatu" sebelum pilpres dilakukan. Sehingga orang lain tidak perlu berkompetisi dengannya, atau kalaupun berkompetisi dengan Jokowi, akan lebih mudah kalau statusnya sebagai tersangka misalnya.
Pasangan Jokowi, yakni Jusuf Kalla sebagai saksi kasus Bank Century saja sudah bisa dimanfatkan untuk melakukan serangan delegitimasi, apalagi dengan status Jokowi di TransJakarta? Bukankah itu memenangkan pertarungan tanpa bertanding?
Banyak yang berharap agar Jokowi sebisa mungkin harus diganti dari ajang kontestasi pilpres kali ini. Sebelumnya ada isu bahwa Megawati akan mengganti Jokowi dengan menarik mandatnya. Isu yang terbukti gagal dan kosong. Hanya ditiupkan untuk menggoyang iman para pecinta Jokowi.
Isu lainnya adalah soal menjadikan Puan Maharani sebagai cawapres yang ternyata hanya isapan jempol semata. Termasuk isu Jokowi Cina atau Jokowi R.IP. yang semuanya hanya untuk mengikis kepercayaan dan mereduksi keterpilihan seorang Jokowi.
Sekaraang soal kasus TJ yang bisa jadi kalau sukses menjadikannya tersangka, maka ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Sementara ancaman hukuman untuk pelaku korupsi itu adalah 15 dan 20 tahun penjara sehingga kalau Jokowi menjadi tersangka korupsi, maka syarat ancaman hukuman 5 tahun sudah terpenuhi.
"Jika kau tidak bisa.mengalahkan musuhmu sendirian, jadikan ia sekutu saja. Namun jika kau bersikeras ingin mengalahkannya agar berkuasa, gunakan orang lain yang lebih banyak dan mudah disuap".
Sepertinya demikianlah pedoman mereka yang ingin berkuasa tanpa melihat keinginan rakyat. Jokowi bisa dihalangi untuk menjadi presiden dan itu mudah tetapi kita harus memanipulasi suara rakyat dengan iringan keji. Lalu waktu akan kembali membuktikan bahwa seseorang adalah pilihan yang keji.