Konflik kerusuhan Mei 98 merupakan suatu konflik rasial terhadap etnis tionghoa yang terjadi saat bulan Mei tahun 1998. Konflik ini diawali dengan krisis moneter yang melanda di Asia. Krisis moneter menyebabkan harga-harga pada saat itu mengalami kenaikan.
Krisis moneter menyebabkan terjadinya aksi demo yang terjadi di beberapa daerah. Saat aksi demo di Jakarta yang terjadi tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa dari Universitas Trisakti tertembak oleh aparat. Hal ini memperparah situasi karena sebelumnya masyarakat sudah terbebani oleh krisis moneter.
Satu hari setelah penembakan kepada empat mahasiswa dari Universitas Trisakti, banyak terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat. Kerusuhan ini seperti penjarahan Toko-toko yang dimiliki oleh etnis tionghoa, yang pada saat itu merupakan etnis yang berpenghasilan tinggi. Bukan hanya penjarahan, tetapi perusakan dan pemerkosaan terhadap warga beretnis tionghoa. Kemudian kerusuhan ini berujung pada mundurnya Presiden Soeharto dan lahirnya reformasi.
Mereka melakukan hal itu kepada warga tionghoa bukan hanya karena warga tionghoa memiliki penghasilan yang tinggi, tetapi juga karena ada dokrinisasi dari pemerintah orde baru yang diberikan kepada masyarakat Indonesia untuk membenci warga tionghoa. Seperti kebijakan pelarangan acara keagamaan tionghoa di tempat umum. Mereka harus melakukan acara keagamaan di tempat yang khusus. Dokrinisasi ini dilakukan karena trauma akibat jejak komunis di Indonesia. Pemerintah orde baru juga mengkambinghitamkan warga tionghoa sebagai dalang atau penyebab dari krisis moneter.
Untuk memahami konflik ini, kita bisa menggunakan teori-teori dalam sosiologi, salah satunya yaitu teori konflik. Teori konflik dapat dijadikan sebagai acuan untuk memahami konflik fenomena sosial tersebut.
Menurut Ralf Dahrendorf, masyarakat mempunyai 2 wajah, yaitu konsensus dan konflik. Konflik tidak dapat terjadi jika tidak ada konsensus. Hubungan 2 pihak yang sebelumnya bersatu bisa saja mengalami konflik karena perbedaan kepentingan. Pada awalnya soeharto dipercaya menjadi presiden karena masyarakat percaya kepada Soeharto. Masyarakat percaya karena Soeharto dianggap dapat Menyelesaikan masalah G30S/PKI dan masalah krisis ekonomi tahun 1966. Tapi pada akhirnya masyarakat tidak lagi percaya dan melalukan perlawanan kepada Soeharto karena dianggap melakukan KKN dan tidak mampu mengatasi krisis moneter. Disini dapat dilihat bagaimana yang sebelumnya antara 2 pihak bersatu kemudian mengalami konflik. Dahrendrof juga berpandangan bahwa konflik menyebabkan perubahan sosial. Pada saat Soeharto tidak lagi dipercaya dan mundur dari jabatannya, terjadilah perubahan yang dialami oleh masyarakat pada saat itu yaitu reformasi.
Lewis Coser, mengemukakan teori konflik sering disebut teori fungsionalisme konflik ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial dan masyarakat. Konflik dapat menyebabkan solidaritas bagi kelompok masyarakat yang agak longgar. Dalam peristiwa ini, masyarakat yang hubungannya longgar (akibat perbedaan pandangan politik) bisa bersatu kembali. Mereka bisa bersatu karena adanya kepentingan yang sama, yaitu mengalami krisis. Pada akhirnya mereka melakukan konflik dengan warga tionghoa yang mayoritas kaya. Selain itu, konflik berfungsi sebagai komunikasi. Sebelumnya, anggota masyarakat berkumpul dan merencanakan apa yang ingin dilakukan. Masyarakat merencanakan melakukan penjarahan terhadap toko-toko yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha tionghoa. Akhirnya rencana itu berhasil dilakukan oleh masyarakat. Lewat tukar-menukar pikiran diantara mereka bisa mendapat untuk mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan persatuan. Disini sini kita bisa lihat teori fungsionalisme struktural dan teori konflik sebagaimana yanh diungkapkan oleh Lewis.
Jonathan Turner, mengatakan bahwa konflik baru disebut konflik jika interaksi antara 2 pihak disertai oleh kekerasan. Pada peristiwa ini, sangat jelas bahwa para aparat dan masyarakat ikut melakukan kekerasan dalam konflik ini. Aparat melakukan penembakan, sedangkan masyarakat melakukan pengeroyokan, penjarahan, pemerkosaan terhadap warga tionghoa. Menurut Turner , konflik dapat terjadi dengan tahapan kurang lebih seperti adanya ketidakadilan yang dialami oleh suatu kelompok yang kemudian bersatu dan membentuk konsolidasi dan menggulingkan yanh berkuasa. Dalam peristiwa ini dapat dilihat bagaimana masyarakat membentuk konsolidasi untuk melawan warga tionghoa akibat kesenjangan ekonomi.
Menurut C. Wright Mills dan Karl Marx, konflik terjadi karena faktor kesenjangan ekonomi antara kaum elit dengan kaum proletariat. Dalam peristiwa ini, konflik terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi. Kerusuhan terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi antara masyarakat dengan warga tionghoa. Masyarakat banyak melakukan kekerasan terhadap warga tionghoa. Karl Marx juga menekankan bahwa konflik menyebabkan adanya perubahan sosial, seperti lahirnya rreformasi. Mills dan Karl Marx mendasari konflik disebabkan oleh ketimpangan kelas sosial.
Beberapa teori konflik tadi menjelaskan bagaimana konflik kerusuhan Mei 98 terjadi, bagaimana konflik bisa menyebabkan perubahan sosial, dan lain-lain. Itu semua dapat dijelaskan dari perspektif sosiologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H