Mohon tunggu...
Usman Adie
Usman Adie Mohon Tunggu... -

Kompasiana saya..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Biaya Tinggi: Biang Korupsi dan Eksploitasi SDA

15 Juli 2012   11:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:56 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1342351843412063553

Dalam beberapa hari ini kita disuguhkan oleh sejumlah berita panggung politik di tanah air. Setelah hiruk pikuk pemilukada di beberapa daerah selesai, minggu lalu kita baru saja dipertontonkan dengan perhelatan demokrasi di Jakarta. Tak ada yang aneh sebenarnya dari pesta demokrasi tersebut. Toh, sejak puluhan tahun lalu kita sudah merasakan tradisi demokrasi prosedural tersebut disuguhkan kepada masyarakat dengan nuansa yang beraneka ragam.

Bedanya adalah bahwa pada masa reformasi ini pemimpin-pemimpin politik formal seperti presiden, gubernur, dan bupati/walikota dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum. Pemilu langsung tersebut tentu sangat menggairahkan masyarakat untuk dapat menentukan pemimpin pilihan mereka secara langsung. Berbeda dengan kondisi pada jaman Orde Baru dimana penguasa politik dipilih oleh elit politik yang duduk di lembaga legislatif. Pada masa itu, elit yang duduk di legislatif juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh partai politik. Rakyat hanya memilih partai politik tanpa mengetahui siapa wakilnya yang akan duduk di parlemen.

Meskipun pemilihan umum secara langsung sudah berjalan sejak pemilu tahun 2004, namun sejauh ini belum berhasil membuktikan bahwa pemilu langsung tersebut menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas. Pesta demokrasi untuk melahirkan pemimpin politik formal menjadi sangat mahal, karena para kandidat berusaha semaksimal mungkin menjadi populer di masyarakat. Untuk itu, upaya promosi dan publikasi dengan berbagai media merupakan pilihan yang tidak bisa dielakkan untuk meningkatkan popularitas. Dalam kondisi seperti ini, maka hanya tokoh-tokoh politik yang mempunyai kekuatan uanglah yang hanya mampu masuk ke dalam sistem politik seperti ini.

Analisis di atas bukan untuk menyimpulkan bahwa pemilihan umum langsung tidak bagus dan harus dikembalikan kepada pemilihan oleh lembaga legislatif, melainkan untuk melihat sejauh mana dampaknya pada eksploitasi sumberdaya setelah pemimpin politik berhasil menduduki jabatan politik sebagai presiden, gubernur, maupun bupati dan walikota. Rata-rata, seorang calon bupati menghabiskan dana promosi kampanye sekitar 5 sampai 10 Milyar Rupiah, sementara calon gubernur sampai 20 Milyar Rupiah. Pertanyaannya tentu saja apakah biaya politik yang sangat tinggi tersebut sebanding dengan pendapatan seorang pemimpin politik dari gajinya?

Kalau gaji Jokowi sebagai Walikota Solo setelah dipotong pajak sebesar 5,5 juta rupiah perbulan, maka gajinya selama 5 tahun adalah sebesar Rp. 330 juta. Penghasilan bersih dari gaji ini tentu saja sangat timpang dengan pengeluaran waktu mereka melakukan kampanye sebagai calon. Karena itu, banyak gubernur dan walikota yang melakukan korupsi dan manipulasi terhadap berbagai proyek ABPD untuk menutupi modal politik yang telah mereka keluarkan dalam jumlah yang sangat besar.

Di daerah-daerah yang kaya sumberdaya alamnya, para bupati dan gubernur melakukan berbagai upaya untuk menarik minat investor melakukan eksploitasi sumberdaya alam di daerahnya, baik hutan, tambang maupun sawit. Yang paling mudah adalah tambang dan sawit karena aturan perundang-undangan membolehkan bupati dan gubernur mengeluarkan ijin untuk tambang dan sawit di wilayahnya. Dari berbagai perijinan yang diberikan, mengalirlah rente ekonomi ke dalam pundi-pundi penguasa politik ini, baik dalam bentuk uang pelicin, fee, suap, saham kosong, hingga manipulasi pajak.

Para penguasa ini kebanyakan tidak lagi menghiraukan janji-janji kampanye ketika pencalonan dulu. Mereka kebanyakan menutup mata bahwa eksploitasi terhadap sumberdaya alam secara berlebihan telah berdampak pada kerusakan hutan dan lingkungan hidup, serta berbagai konflik dengan masyarakat lokal. Janji tinggal janji, yang penting adalah bagaimana hutang politik dapat dilunasi, begitu kira-kira semboyan mereka. Karena itu, banyak orang kecewa dengan kinerja sejumlah pemimpin daerah (dan juga nasional) yang tidak mampu melakukan perubahan dan perbaikan seperti yang diharapkan masyarakat sebelumnya.

Barangkali yang perlu diperhatikan ke depan adalah bagaimana pesta demokrasi langsung ini bisa meminimalkan biaya politik sekecil-kecilnya, dan bisa menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas, jujur, tidak rakus dan korup serta visioner dalam membangun masyarakatnya. Sehingga para penguasa politi tersebut tidak mengorbankan kepentingan rakyat melalui berbagai tindakan korupsi yang mereka lakukan bersama dengan pejabat di birokrasinya. Dan yang terpenting jangan sampai mengorbankan Sumberdaya Alam yang menjadi warisan untuk anak cucu nanti. (Adie Usman Musa. Balee IGA, 15 Juli 2012)***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun