Mohon tunggu...
Adie Marzuki
Adie Marzuki Mohon Tunggu... lainnya -

jurnalis teknologi & budaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Peran PIKIR dalam Demokrasi Ekonomi yang Terkooptasi

11 November 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:17 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sistem semi liberalism yang terjadi di Indonesia, selain menumbuh-kembangkan eksploitasi golongan menengah dan bawah di Indonesia, juga telah mempertahankan serta memperburuk kelemahan struktural posisi Indonesia dalam konstelasi ekonomi dunia. Disebut semi liberalism karena disini berlangsung sistem psedudo etatisme yang menyelimurkan plutokrasi kronis, dimana negara beserta aparatur ekonominya bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi berikut daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Dalam konteks di Indonesia saat ini, negara merepresentasikan suatu pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok-kelompok terbatas, dalam bentuk monopoli konglomerasi yang akar serabutnya bertebaran keseluruh penjuru republik.

Mengacu kepada pembedaan sistem ekonomi primer dan sistem ekonomi sekunder, kondisi perekonomian Indonesia yang sejatinya dibakukan dalam konstitusi ini lebih cenderung untuk disebut sistem ekonomi primer. Surani-Unger mengatakan bahwa sistem ekonomi primer adalah suatu sistem ekonomi di mana faktor-faktor atau unsur-unsur ekonominya bersifat predominan sedangkan faktor-faktor non-ekonominya hanya sebagai unsur pelengkap atau supplementer serta komplementer. Sedangkan unsur ekonomi disini seperti stimulus ekonomi, kebebasan ekonomi, kebebasan pemilikan, mekanisme pasar dan sistem distribusi pendapatan lebih diutamakan ketimbang faktor-faktor non-ekonomi, termasuk di dalamnya falsafah hidup, faktor kultur, etika, agama, sosial, ideologi dan lain-lain.

Pengembalian sistem ekonomi kepada konstitusi republik ini bukan permasalahan mudah. Penyimpangan yang terjadi selama dua generasi ini membutuhkan kerja besar yang masif dan terencana dengan matang. Benteng-benteng yang dibangun oleh kelompok kekuatan ekonomi konglomarasi ini harus ditembus dengan strategi yang keluar dari patron-patron ekonomi yang ada saat ini. Kondisi ini dijelaskan oleh Gramsci dengan memadai, dimana Gramsci menyebut peran edukatif dari negara dapat secara masif mendorong mayoritas penduduk ke tingkat budaya dan moral tertentu, yaitu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang produktif bagi kepentingan kelas penguasa. Dalam konteks ini, Gramsci menegaskan bahwa negara adalah setara dengan "kelompok dasar ekonomi" atau kelas penguasa.

Setebal-tebalnya benteng yang dibangun, celah retakan tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, kondisi alamiah perekonomian model ekonomi pasar adalah terjadinya destruksi kreatif, dimana sesuatu yang baru membunuh sesuatu yang lebih tua (Schumpeter, 1942). Dalam proses destruksi kreatif, yang perlu dicermati adalah faktor realokasi, dan khususnya, arus pekerjaan. Davis, Haltiwanger dan Schuh (1996) mendefinisikan penciptaan lapangan kerja (dan penghancurannya) sebagai aspek positif dan negatif dalam perubahan. Dalam definisi ini, mereka menyimpulkan bahwa berkisar sepuluh persen dari pekerjaan yang ada pada setiap titik waktu, tidak ada pada tahun sebelumnya atau tidak akan ada tahun kemudian. Artinya, lebih dari sepuluh persen dari pekerjaan yang ada pada tahun ini, berpotensi dihancurkan setiap tahun dan sekitar jumlah yang sama, dibuat kembali dalam tahun yang sama.

Pada proses ini, inovasi teknologi memegang peranan yang krusial. Proses restrukturisasi yang terjadi dari perkembangan teknologi mampu menembus sampai ke level ekonomi makro, tidak hanya pertumbuhan jangka panjang tetapi juga mempengaruhi fluktuasi ekonomi, termasuk penyesuaian struktural dan faktor fungsi pasar. Hal ini tidak terlepas dari fungsi inovasi teknologi yang mampu merestruktur rantai nilai dari hulu ke hilir. Pada fase ini, benteng hegemoni sangat rentan ditembus, sesuai dalil destruksi kreatif tersebut. Penguasa teknologi yang mempunyai inovasi tepat guna akan mendapatkan momentumnya pada fase tersebut, walaupun berada diluar sektor negara atau sektor penguasa. Selain mereka, momentum ini juga dimiliki oleh penguasa grass root atau sektor pekerja. Sektor ini akan mengendarai gelombang yang terbentuk dari terciptanya lapangan kerja baru, dengan syarat mampu adaptif terhadap teknologi baru.

Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) yang mencapai usianya yang kedua pada hari ini adalah “wave rider” dari momentum tersebut. Kompilasi inovasi-inovasi tepat guna dan basis akar rumput yang dibangun oleh jejaring PIKIR adalah instrumen ideal dalam menginfiltrasi benteng hegemoni yang mulai lapuk dimakan kompetisi ini. Posisi PIKIR yang dekat dengan sektor informal, yang dapat didefinisikan sebagai sektor swasta yang marginal, selain membuat PIKIR tidak dapat terdeteksi “radar” penguasa, juga memposisikan PIKIR sebagai katalisator dari perubahan cepat yang kemungkinan terjadi, akibat perubahan konstelasi politik dalam negeri tahun depan. Jangkauan PIKIR sebagai stakeholder non praktisi membuatnya memiliki daya tembus yang tinggi. Dalam konteks ini, PIKIR berpeluang untuk menjadi titik temu dari setiap faktor yang ada, karena tidak memiliki resistensi terhadap pihak manapun yang bermain.

Sedikit kendala yang tersisa bagi PIKIR untuk menunaikan fungsinya adalah keterbatasan sumberdaya yang ada. Namun sejalan dengan proses yang terjadi, kendala tersebut akan tereliminasi dengan sendirinya, jika faktor-faktor pendukung yang ada disekelilingnya dapat dimaksimalkan. Tahap memaksimalkan faktor pendukung ini yang sedang berlangsung saat ini, bertepatan dengan tercapainya usia dua tahun dari PIKIR sebagai organisasi yang merupakan manifestasi kearifan lokal berusia ratusan tahun, yaitu kolektivisme, kemandirian dan humanisme.

Ditulis pada hari lahir PIKIR,

11/11/11 – 11/11/13.

Adie Marzuki

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun