Bak jamur di musim hujan, hotel-hotel baru bermunculan begitu cepat. Promo rate yang menggiurkan ditawarkan untuk menarik tamu sebanyak-banyaknya. Marketing manager hotel baru tentu tak ingin kehilangan muka di hadapan owner bila okupansinya rendah. Maka tak heran bila hotel bintang  4 dan 5 memberikan rate sama dengan hotel 2 kelas di bawahnya.
Hotel lama yang tak ingin kehilangan ceruk pasarnya terkesiap menyikapi ini. Tak mau kalah, mereka pun ikut banting harga. Mereka rela margin profitnya turun demi mempertahankan okupansi. Hotel yang terlihat sepi tentu bukan pemandangan yang disukai oleh owner maupun tamu yang hendak menginap. Tak mudah menghadapi persaingan yang amat ketat ini di saat tingkat kunjungan wisatawan tidak signifikan dengan banyaknya tambahan kamar hotel-hotel baru.
Tamu diuntungkan dengan fenomena ini? Secara praktis iya. Mereka bisa menginap di hotel bintang 5 di harga bintang 3. Namun dalam jangka panjang, ini akan merugikan tamu dan hotel itu sendiri. Penurunan harga membawa konsekuensi negatif. Owner harus rela margin profitnya mengecil. Saat margin ini mengecil, harus ada pengorbanan lain seperti misalnya pengurangan budget untuk karyawan, perawatan bangunan, perabot dan pelayanan.  Bisa dibayangkan apa yang akan dialami oleh tamu? Mereka akan dilayani oleh sedikit karyawan yang bergaji rendah dan mendapatkan bangunan dan perabot yang usang.
Jumlah kunjungan wisatawan yang jauh tidak sebanding dengan jumlah hotel akan menghasilkan jumlah pemenang yang sedikit pula. Fenomena semacam ini sudah terjadi di dunia pendidikan di Jogja. Banyak kampus kosong tidak mempunya mahasiswa, lalu akhirnya tutup.
Kapan dunia perhotelan Jogja akan mulai kolaps?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H