Mohon tunggu...
Adi Dinar
Adi Dinar Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog. Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Tertarik dengan isu-isu kesehatan mental, kesehatan pernikahan, dan transformasi personal.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Dalam Pernikahan, Logika dan Pengalaman Saja Tidak Cukup.

14 Januari 2025   11:42 Diperbarui: 14 Januari 2025   11:42 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Ada banyak orang yang mengandalkan pengalaman pribadinya untuk menata hubungan ataupun memecahkan permasalahan di pernikahannya. Ada juga yang lebih mengandalkan logika pribadi yang didasarkan pada pemikirannya sendiri. Apakah mengandalkan keduanya akan selalu berhasil? Tidak.

Sama seperti ketika kita belajar cara memasak, tidak cukup hanya mengandalkan insting saja, ataupun pengalaman saja, untuk memasak. Kita juga perlu tahu bagaimana resepnya, bagaimana karakteristik bahan yang digunakan, dan juga bagaimana cara memasak yang benar. Begitu pula dengan hubungan pernikahan. Insting saja tidak cukup, pengalaman saja tidak cukup. Kita perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana sesungguhnya cara yang baik untuk membangun hubungan pernikahan yang sehat.

Saya ingin sedikit memperlihatkan apa yang bisa terjadi bila kita hanya mengandalkan pengalaman pribadi saja. Ada seorang ahli terapi terkenal yang punya program untuk membantu anak-anak berteman. Ahli terkenal lho. Dia merancang program ini dengan cara mengingat-ingat bagaimana dulu dia berteman di usia 4 tahun. Programnya sederhana: anak-anak diajari untuk menyapa dengan ceria dan memperkenalkan diri. Terdengar masuk akal kan?

Program ini menarik perhatian seorang ahli lain yang saya kenal betul kredibilitas risetnya. Dia mempelajari langsung bagaimana sesungguhnya anak-anak berinteraksi dengan teman-temannya, dan dia menemukan bahwa pada anak prasekolah, anak-anak tidak mulai bermain dengan cara seperti itu. Memperkenalkan diri justru akan membuat anak-anak itu dijauhi. Mengapa? Karena terlalu menonjolkan diri justru membuat mereka tidak diterima.

Dengan cerita ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda bahwa pengalaman pribadi kita yang masuk akal tidaklah selalu membantu. Bahkan terkadang justru merusak. Saya tidak mengatakan untuk tidak belajar dari pengalaman. Saya ingin mengatakan bahwa pengalaman yang kita miliki sebaiknya diimbangi dengan pengetahuan ilmiah yang solid tentang bagaimana sesungguhnya membangun hubungan pernikahan yang sehat.

Sama seperti belajar dari koki hebat yang sudah berpengalaman, kita perlu memahami temuan-temuan riset dari para peneliti yang memang benar-benar mengamati bagaimana pasangan-pasangan yang langgeng dan bahagia menjalani hubungan mereka sehari-hari. Bahkan bagi yang belum pernah menikah dan sama sekali tidak punya pengalaman sekalipun, memahami temuan dari riset-riset pernikahan yang bagus dapat membuat kita melihat bahwa semua pasangan ternyata punya masalah komunikasi. Semua. Mau pernikahannya bahagia, mau pernikahannya sering bertengkar, semua punya masalah komunikasi. Bedanya, pasangan yang bahagia lebih sering memperbaiki situasi setelah ada masalah. Pasangan yang tidak bahagia, tidak begitu.

Jadi, dalam pernikahan, pengalaman dan pemikiran pribadi saja tidak cukup. Keduanya perlu diimbangi dengan ilmu yang baik tentang bagaimana menjalankan pernikahan.

Dari ketiganya akan bisa kita temukan cara, agar pernikahan bisa lebih sehat dan bahagia dari sebelumnya.

Salam,

Adi Dinardinata, M.Psi., Psikolog.

Psikolog Pernikahan & Pranikah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun