Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Buruh - Pacarnya Hades 🖤

Homo Sapiens yang brojol enam dekade silam, dengan kondisi prematur. Berbobot fisik kurang dari satu kilogram. Tinggal di koordinat bumi 104°8' - 108°41' BT dan 5°50' - 7°50' LS. Setelah menghabiskan ribuan kaleng susu formula, ia tumbuh dewasa seperti kebanyakan pria umumnya yang suka memanjat pohon toge dan bolos sekolah. Selepas usia 20-an, Ia mengklasifikasikan dirinya sebagai manusia hermafrodit secara metaforis— tergantung siapa yang mencintainya. Binatang rasional ini hobi menyesatkan diri bersama pikiran-pikiran liar nan berbahaya. Ia jelajahi ruang makrokosmos hanya demi mencari sebuah tanda tanya, Memiliki itu Apa? Kesibukan sekarang menjadi pecandu senja, penikmat pisang goreng, dan sesekali menyapa Tuhan jika sedang ingin. Ia dapat dikontak lewat surel pecandusenja[at]duniatipu.com. Atas penghayatan demi penghayatan pengunjung diucapkannya terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mayat-Mayat Hujan

10 Desember 2024   22:26 Diperbarui: 11 Desember 2024   16:32 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dihasilkan dengan bantuan AI melalui OpenAI/DALL-E.

pada arah yang kau tuju
tersangkut maut
di setiap helaian angin
peluru menyasar jantung, hati
yang bersembunyi
bolonglah satu sisi diriku

kepada kesedihan yang tumbuh
bagai payung di kedua matamu
memanggil hujan hingga luruh
sepanjang malam, aku panaskan
beku lingkaran tahun mengular
iringi luka genetik kian menjalar
persembahkanlah organ suci bagi
inti hidup berperang menyambut
sesaat (ah)

aku teringat hari-hari merawatmu,
sepasang anak duka mengintip
perempuan dalam dirimu
katanya, "tunggu, ibu hujan akan
membawa kekasih hujan"---
kekasih yang jatuh cinta pada
perempuan yang mudah menangis

kau tumbuh, melesat
menembus dewasa, perempuan
yang di mata senjanya tumbuh
akar pohon teduh

dewa katak merayakan keriangan
anak-anak hujan bernyanyi
ibu hujan membuka seluruh jendelanya
duduk menunggu di balik tirai air
menanti deras mengakhiri

esoknya, mayat-mayat hujan
tergeletak di mana-mana
satu di antaranya masih hidup,
memberiku kabar:
"sebelum pagi buta, perempuan
dengan akar teduh di matanya
sedang menari berteman runcing hujan---
sampai bangkai-bangkai itu
kembali jadi air yang menggenang."

**

M Sanantara
Bgr, 10122024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun