di peron terakhir ini
aku sudah tidak menunggu lagi
waktu gegas lokomotif buat
senyummu lenyap tertelan tikungan
aku sulit menerima
kenyataan terlalu besar
untuk masuk ke kepala
ruang tunggu penuh cermin retak
jalan cahaya menerobos
celah gelambir senja sekisi saja
pukul dua dini hari
tubuhku tersungkur
ke lantai loket
gelap memenuhi mata ingatan
aku lupa tanah kelahiran,
aroma serundeng ibu,
kado seragam sekolah hasil usaha doanya---
ribuan malam
entah di sungai mana ia terbawa
kupandangi pantulan wajah
di retina yang memutih
mereka duduk diam terpasung kursi baja
tiket di tangan, tak pernah dibaca
Aku salah satunya:
menanti, tapi untuk apa?
tatapan kosong selurus
pandang menembus rel-rel tanpa ujung
ingatan pudar menjejali formasi beban
di jantung waktu merosot ke absurditas
kian hangat merayap ke beku saraf
di stasiun ini, kematian hanya janji
ucap berulang, tak pernah sampai,
seperti dirimu
M Sanantara
Jkt, 07122024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H