Mohon tunggu...
Achmad Nurisal
Achmad Nurisal Mohon Tunggu... Wiraswasta - https://app.gadaibpkb.online/aplikasi-pinjaman-uang-online-cepat/

www.adichal.wordpress.com; Books: Harapan Yang Tertulis (Antologi, 2012); Financial Stories (Antologi, 2013); Ramadan Undercover (Antologi, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bali dan Astri, Aku Pasti Kembali

23 Oktober 2014   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:02 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_349334" align="aligncenter" width="336" caption="Ni Nengah Sudiastrini (dok. Nouval Rushaly)"][/caption]

Pada hari ketiga ini, 10 Oktober 2014, para Kompasianer telah memiliki jadwal yang sudah ditetapkan oleh Pertamina selaku panitia acara. Diawali dengan memanjatkan do’a, kami semua berangkat menuju Sungai Ayung yang terletak di Ubud, Bali. Tidak seperti perjalanan pada hari sebelumnya, kali ini ada seorang perempuan yang menarik di tengah-tengah kami. Dengan kebaya Bali berwarna hijau, serta kain batik dan selendang merah muda yang terikat di pinggulnya, ia menjelaskan segala hal yang kami lihat dan kami lewati sepanjang di perjalanan. Dengan gemulai layaknya para penari, tangannya bergerak ke arah kanan dan kiri. Pemandu wisata itu bernama Astri; Ni Nengah Sudiastrini lengkapnya.

“Ada yang tahu arti Bali?”

Di pagi yang menyerbutkan cahaya mentari yang cerah, Mbak Astri bertanya pada masing-masing peserta tour dalam bis. Dengan sigap, Mas Dzul mengacungkan tangannya. “Bali berarti kembali, Mbak. Buktinya, saya pernah ke Bali beberapa waktu yang lalu dan kembali lagi hari ini. Hehe..”

Segurat senyum tersungging di bibir merah Mbak Astri. Ia membenarkan jawaban dari salah satu Kompasianer, Mas Dzul, atas pertanyaan yang terlontar tadi. Bali berasal dari bahasa sansekerta, yang artinya kembali. Begitu penjelasan tambahan dari Mbak Astri atas pertanyaan yang dilemparkan oleh dirinya sendiri.

Dan, selama perjalanan menuju tempat tujuan, kami dipandu dengan manis oleh perempuan ceriwis ini. Seperti panggung yang memang telah dipersiapkan untuknya, Mbak Astri menerangkan kepada kami tempat-tempat yang wajib dikunjungi ketika berada di Bali dengan penuh percaya diri. Microphone yang berada di genggamannya sudah seperti belahan jiwa Mbak Astri. Tanpanya mungkin ia bukanlah apa-apa. Berkat pengeras suara ini, cuap-cuapnya bisa mengudara sampai ke bagian sela-sela bis yang paling tersembunyi. Sesekali, ia menggoda para peserta yang duduk di barisan paling belakang yang terlihat mengatup-katupkan matanya dan menguap karena kantuk.

Hal ini, mengantuk di perjalanan, nampaknya tidak dialami oleh Om Fadli, Om Rushan, Mas Dwi, dan para Kompasianer serta pendamping dari Pertamina yang berada di bagian depan dalam bis. Pasalnya, Mbak Astri kerap mengisi waktu dengan candaan dan kata-kata yang cukup senonoh. Kontan saja mata menjadi melek dan tubuh pun segar karena sering tertawa akibat guyonan dari perempuan asli Bali ini. Entah apa perasaan Mbak Nur Hasanah dan Mbak Ari sebagai salah dua perempuan di antara rombongan yang mayoritas laki-laki ini. Yang jelas, kami semua para lelaki cukup terhibur dengan cara Mbak Astri mengambil perannya sebagai pemandu wisata. Toh, itu cuma kata-kata dan hanya bagian dari bahasa, selosor Mbak Astri di sela-sela banyolannya. Ah, benar juga.

Seperti yang telah dipaparkan Oleh Pak Rushan Nouvaly, menjadi seorang pemandu wisata adalah sebuah kecelakaan bagi Mbak Astri. Awalnya, ia adalah seorang akuntan di lingkungan kerjanya. Namun, ada pengakuan menarik yang kudapatkan dari mulut Mbak Astri sendiri.

Ketika tengah menunggu para Kompasianer lainnya untuk menuju ke Garuda Wisnu Kencana, aku menghampiri Mbak Astri yang sedang termangu di sisi bis. Obrolan ringan pun mengalir begitu saja. Memang dasar aku orangnya suka penasaran, langsung kutembak Mbak Astri dengan sebuah pertanyaan.

“Kenapa murtad dari akuntan, Mbak? Banting stir jadi pemandu wisata?” Itu pertanyaan yang kuajukan pertama setelah menyapanya dengan berbasa-basi ria.

“Saya kan manusia, bukan pohon. Pohon gak bisa pindah ke mana pun jika tidak suka dengan tempat bernanungnya. Kecuali kalau ada yang memindahkan ya. Saya manusia, jadi bisa dong memilih ke mana pun yang saya suka. Dan kalau saya tidak suka, saya bisa pergi meninggalkannya, kan?”

Dengan reflek aku bertepuk tangan. Jawaban filosofisnya kurasa patut diapresiasi. Entahlah, rasanya pilihan maupun keputusan yang terbaik untuknya hanya Mbak Astri sendiri yang tahu dan mengerti.

Meski kebaya yang membaluti tubuhnya berwarna hijau, tak lantas membuat Mbak Astri ingin disamakan dengan sebuah tanaman. Ada hal yang kutangkap dari jawaban Mbak Astri barusan, ia bukan pohon dan sepertinya tidak suka dengan pekerjaan monoton. Karena ia manusia; memiliki kehendak bebas, maka Mbak Astri banting setir menjadi seorang pemandu wisata. Meski awalnya “kecelakaan”, namun profesi barunya ini lebih dinikmati oleh Mbak Astri ketimbang berkecimpung dengan hal-hal yang berbau akuntansi.

[caption id="attachment_349333" align="aligncenter" width="354" caption="Tak Ada Rotan Akar Pun Jadi; Gak Dicium Mbak Astri, Dicium Bebek Kayu Pun Jadi. Hahaha.."]

14140072491675985268
14140072491675985268
[/caption]

Sesi tanya jawab layaknya seorang wartawan dan narasumber pun masih berlangsung di dalam bis. Pada sebuah kesempatan, akhirnya aku bisa duduk berdekatan dengan perempuan single ini.

”Aku ini reinkarnasi dari seorang laki-laki. Makanya senang dengan pekerjaan tour guide seperti ini yang lazimnya dikerjakan oleh para pria.”

Aku cukup terkejut dengan pengakuan lainnya dari Mbak Astri barusan. Memang aku pernah membaca kalau roh kita ini terus hidup dan hanya mengalami pergantian tubuh atau jasad fisik pada ajaran Budha. Hal yang mengejutkan ialah roh yang berada di dalam tubuh Mbak Astri itu laki-laki! Kontan aku langsung memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tulen perempuan.

Pertanyaan lain pun bergulir. Urutan nama yang disematkan oleh orang tua di Bali kepada anaknya menguak rasa penasaranku berikutnya. Sebab, salah seorang tetangga ada yang berasal dari Bali. Anak pertamanya yang perempuan itu bernama Putu, dan adiknya, seorang lelaki memiliki nama Gede. Hal ini tidak memiliki runutan yang tepat dalam adat dan istidada pada tradisi penamaan di Bali. Untuk anak pertama, memang benar, jika perempuan disematkan nama Putu. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah anak keduanya yang bernama Gede; nama yang seharusnya tersemat untuk anak pertama.

Sebagai informasi, berikut tampilan urutan penamaan dalam tradisi Bali yang didapat dari Mbak Astri:

Anak ke-

Laki-laki/Perempuan

1

Wayan/Gede/Putu

2

Made/Kadek

3

Nyoman/Komang/Koming

4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun