Pada hari minggu lalu, tepatnya tanggal 2 Oktober 2016, saudara saya datang berkunjung ke rumah saya. Hanya kunjungan biasa. Walaupun demikian, sewaktu saya mengobrol dengannya, terlihat kalau ia memendam emosi tertentu di wajahnya.
Sudah seminggu ia menempati rumahnya yang baru di kawasan Cibitung. Sebuah rumah yang sederhana, teduh, dan asri. Sebelumnya ia tinggal persis di sebelah rumah saya. Lantaran hidup berdekatan, saya sering mengunjungi rumahnya. Sebaliknya pun demikian. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Menonton film. Bermain game. Sekadar mengobrol. Dari situ rupanya terjalin keakraban di antara kami.
Namun demikian, keakraban itu kini terhalang oleh jarak lantaran keluarganya memutuskan pindah ke rumah yang baru. Pada hari pindah rumah, saya ikut membantu mengangkut perabotan rumahnya, seperti meja, lemari, dan televisi, ke truk. Setelah selesai, truk melaju ke Cibitung. Saya pun berkendara mengekor di belakang truk.
Dalam perjalanan, saya tiba-tiba saja “terbawa perasaan” alias “baper”. Semua momen kebersamaan kami mendadak terbayang di pikiran saya. Kehilangan? Sudah tentu. Akan tetapi, saya berusaha menguatkan hati supaya saya bisa melepas kepergian saudara saya dengan senyum dan ikhlas.
Begitu kami tiba di lokasi, semua perabot yang terdapat di truk diturunkan dan dimasukkan ke rumah. Setelah selesai beres-beres, sambil duduk beristirahat, saya menyempatkan diri untuk mengobrol bersama saudara saya.
Seperti biasa, obrolan kami terasa renyah dan dibumbui oleh banyolan yang menerbitkan tawa. Satu jam kemudian, saya minta izin pulang. “Kalau kamu sempat, datanglah ke rumah,” kata saya. “Nanti kita ngobrol lagi.”
Seperti sudah saya tuturkan di awal, seminggu kemudian, saudara saya pun mengunjungi saya. Apa yang saya rasakan tampaknya dialami juga olehnya. Mungkin ia juga ikut “terbawa perasaan.” Buktinya, baru seminggu berpisah, ia sudah ingin ngobrol lagi dengan saya. Yang jelas, baginya, kunjungan itu lebih dari sekedar ajang kumpul-kumpul, tetapi sebuah cara untuk melepas kangen.
Menurut psikologi, perasaan seperti itu timbul lantaran adanya “efek keengganan melepas”. Kita cenderung sulit berpisah dari “sesuatu”, yang sudah dilabeli kata “kesayangan”. “Sesuatu” itu tak hanya orang, tetapi juga bisa berupa barang tertentu, yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan diri kita.
Sebagai contoh, saya memiliki kenalan, yang sangat terikat dengan sepeda motornya. Ia memang sangat “menyayangi” sepeda motornya. Maklum saja, sepeda motor itu adalah hadiah dari orangtuanya. Jadi, ia menjaga betul-betul hadiah spesial itu. Bahkan, saking sayangnya, ia rela mencuci sepeda motornya hampir setiap hari!
Belum lagi, kakek saya yang masih saja menyimpan sepeda ontel miliknya di gudang. Sekarang memang bukan zamannya lagi orang mengendarai sepeda ontel. Sepeda ontel pun telah sangat jarang berseliweran di jalan raya. Paling-paling, kita hanya akan melihat orang mengayuh sepeda ontel di tempat tertentu, seperti kawasan Kota Tua, yang memang menjadi tempat nongkrong komunitas pecinta sepeda ontel.
Oleh sebab itu, sepeda ontel itu sudah seharusnya dijual atau dimuseumkan saja daripada harus menjejali gudang. Namun, lantaran mempunyai banyak "kenangan manis" bersama sepeda itu, kakek saya enggan melepasnya. Biarpun kondisinya kini sudah banyak berkarat, sepeda itu masih menjadi “kesayangan” kakek saya.