Sewaktu menonton film Sword Art Online: Ordinary Scale, saya menyaksikan “benturan hebat” antara dua teknologi digital yang lagi trend saat ini: virtual reality dan augmented reality. Bagi saya, benturan itu menjadi “fragmen” yang menarik disimak dalam film berdurasi hampir dua jam tersebut, lantaran terdapat sebuah visi bahwa kejadian itu bisa saja menjadi sebuah “sinyal darurat” untuk masa depan.
Seperti serialnya, film tersebut masih menghadirkan Kazuto “Kirito” Kirigaya dan “Asuna” Yuuki sebagai poros cerita. Kedua tokoh yang banyak difavoritkan para remaja penyuka anime itu ibarat “ruh” yang menggerakkan isi film terutama soal keahlian dalam mengalahkan monster dan percintaan yang romantis.
Maka, jangan heran kalau sepanjang film, kita bakal disuguhi beragam adegan penaklukan monster yang bombastis dan jalinan kisah cinta layaknya “roman picisan” khas remaja.
Namun demikian, berbeda dengan serialnya, kedua tokoh itu tak melulu tampil dalam game Sword Art Online atau Alfheim Online, yang notabenenya terdapat di jagat virtual reality. Pada film tersebut, keduanya merambah dunia baru bernama augmented reality.
Walaupun sama-sama menyajikan permainan dalam menumpas para monster, kedua teknologi itu jelas menawarkan pengalaman yang berbeda. Pengguna augmented reality merasakan pengalaman yang lebih nyata sewaktu mereka bermain game karena aktivitas fisik terlibat penuh di dalamnya. Mereka cukup memakai peralatan augmented reality yang kemudian akan memvisualisasikan dunia game secara langsung.
Cara kerjanya mirip seperti kita memainkan Pokemon Go. Sewaktu memainkan game itu, kita bergerak mencari dan menangkap pokemon di beberapa lokasi. Kita menerapkan aktivitas fisik dalam memburu pokemon. Oleh sebab itu, kita dapat melibatkan hampir semua indera ketika memainkannya.
Augmented reality pun demikian kinerjanya. Hanya bedanya, jika game Pokemon Go masih bersifat 2D, game yang dimainkan dengan augmented reality sudah berformat 3D.
Berbeda dengan augmented reality, gamer yang memakai teknologi virtual reality cenderung lebih pasif. Mereka hanya perlu memakai helm nervegear, berbaring di tempat yang nyaman, dan selebihnya bisa berpetualang di dunia game yang menawarkan pelbagai keunikan.
Dari segi keamanan jelas teknologi virtual reality lebih unggul daripada augmented reality, lantaran pemakainya terhindar dari cidera fisik, seperti terjatuh atau tertabrak mobil, sewaktu bermain game.
Namun, dari segi kesehatan, augmented realty lebih baik, karena penggunanya dapat “berolahraga” sambil bermain game.
Apakah gamer yang jago bermain di ranah virtual reality akan unggul juga di dunia augmented reality? Belum tentu. Setidaknya itulah yang dialami Kirito sewaktu ia menjajal game augmented reality.