Jika berbicara soal sandiwara radio, saya teringat “curhat” dosen saya kepada para penyiar di sebuah stasiun radio swasta di Kota Malang pada tahun 2011 silam. Pada saat itu, beliau menuturkan sering menyimak sandiwara radio. Menurutnya, sandiwara radio memang menjadi “primadona” di masyarakat pada era 80-an. Ibarat virus, sandiwara tersebut sukses “menulari” dan “merasuki” setiap orang. Tak cuma orang tua, anak muda pun menggandrunginya. Buktinya, setiap sandiwara itu akan disiarkan, mereka asyik duduk-duduk di sekeliling radio sembari menyimak sandiwara favoritnya.
Namun demikian, seiring perkembangan televisi pada tahun 1990-an, pamor sandiwara radio yang tadinya “berkilau” pelan-pelan mulai redup. Masyarakat rupanya lebih tertarik menonton televisi karena mereka bisa melihat dan mendengar langsung tayangan yang ditampilkan, alih-alih hanya menyimak dan membayangkan sebagaimana ditunjukkan oleh radio.
Apalagi, pada saat itu, harga televisi sudah lebih murah. Dengan harga yang terjangkau, masyarakat mampu membelinya sehingga perkembangan televisi menjadi sedemikian masif. Selain itu, muncul pula sejumlah stasiun televisi swasta yang menawarkan pelbagai konten yang variatif, seperti hiburan dan berita. Hal itu tentunya membikin masyarakat makin “lengket” melihat tayangan di televisi.
Akibatnya, sandiwara radio pun ditinggalkan. Namun demikian, bagi sejumlah orang yang dulu sempat menggandrunginya, sandiwara tersebut menjadi kenangan masa lalu yang susah dilupakan. “Di balik move on yang lambat, terdapat mantan yang hebat.” Barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa lekatnya sandiwara radio di hati masyarakat. Biarpun pernah menjadi “mantan” media yang pernah disayangi, tetap saja kemunculannya selalu dinanti.
Makanya, jangan heran kalau saya merasakan “nuansa baper” yang kental sewaktu menghadiri acara Nangkring Kompasiana di Graha BNPB pada tanggal 6 Juni lalu. Mayoritas yang hadir pada acara itu memang pernah “bersentuhan” dengan sandiwara radio. Jadi, bagi saya pribadi, acara itu sudah seperti ajang “temu kangen” di antara para pecinta sandiwara radio yang sempat berjaya pada era 80-an.
Pada acara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mengumumkan akan merilis sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana 2 (ADB 2) pada bulan Juli ini. Sandiwara itu adalah lanjutan dari season sebelumnya yang dinilai sukses karena telah disimak lebih 43 juta orang di 20 stasiun radio yang menyiarkannya.
Untuk siaran ADB 2, BNPB bekerja sama dengan 80 stasiun radio, meliputi 60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas. Kedelapan puluh stasiun tadi tersebar di 20 provinsi. Sandiwara itu juga masih dimainkan oleh Ferry Fadli dan disutradarai oleh Haryoko, yang sebelumnya berhasil membangkitkan “baper” di hati para pendengarnya.
Dari “Mantan” Menjadi “Teman”
Kehadiran sandiwara radio, seperti Asmara di Tengah Bencana2, tak hanya “mengobati” kerinduan masyarakat, tapi juga memberi edukasi tentang tanggap bencana. Di dalam beberapa episodenya terselip pesan yang secara halus menganjurkan masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi pelbagai bencana yang mungkin saja terjadi. Makanya, jika dulu diibaratkan sebagai “mantan pacar” yang sangat digilai, sandiwara radio kini menjelma “teman” yang senantiasa mewanti-wanti masyarakat terhadap risiko bencana.
Sesuai dengan slogan BNPB, semua itu bertujuan membangun “Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana”. Ketangguhan yang dimaksud tampaknya menjadi “titik sentral” dalam mengantisipasi beragam bencana. Dengan memiliki sikap yang tangguh, bangsa kita diharapkan tak hanya mampu menghindarkan diri dari bencana alam, tapi juga dapat segera bangkit pascaterjadi bencana.
Karena kita hidup di wilayah yang rawan bencana, sikap itu tentu penting dibangun. Sebagaimana laporan yang tertulis di majalah Gema BNPB, sepanjang tahun 2016, pelbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung, silih berganti menerpa sejumlah daerah di Indonesia.