Biarpun sudah terjadi bertahun-tahun lalu, saya masih ingat bahwa dulu saya mendapat omelan dari orangtua saya karena sering menghabiskan uang jajan untuk bermain game. Waktu itu, saya memang keranjingan bermain playstation. Apalagi pada musim liburan seperti sekarang ini, saya bisa menghabiskan banyak uang dan waktu di rental untuk bermain pelbagai game bersama teman-teman. Bahkan, kalau lagi “kesurupan” bermain game, saya bisa sampai lupa makan, atau mengerjakan tugas lainnya, sebab yang ada di otak saya hanya tiga kata: “game”, “game”, dan “game”.
Hal itu kemudian berdampak juga pada hubungan saya dan orangtua. Karena saya selalu sibuk memikirkan game, orangtua saya “protes”. Mereka bahkan sampai memarahi saya habis-habisan lantaran saya masih belum juga “insyaf” dari kebiasaan bermain game. “Nanti kamu jadi anak bodoh kalau kebanyakan bermain game!” semprot mereka. Akhirnya, mereka melakukan “embargo” terhadap saya. Jatah uang jajan saya dikurangi supaya saya enggak bisa main game di rental lagi.
Apakah saya berhenti? Enggak. Saya ternyata belum “kapok” main game di rental. Hanya saja, intensitasnya enggak sesering sebelumnya, hingga bertahun-tahun kemudian saya sudah enggak “menyetuh” stik ps lagi. Bosan? Mungkin. Namun, seiring bertambahnya umur, pola pikir saya pun berkembang. Cieile. Sok dewasa. Namun, itulah yang terjadi sampai saat ini.
Hanya saja, setelah melihat perkembangan dunia game dewasa ini, saya sedikit “menyesal” karena ternyata kini orang sudah bisa hidup dari industri game. Dulu orang sering mencibir, “Mau jadi apa lu kalau kebanyakan nge-game? Mau jadi orang susah?” Saat itu mungkin belum banyak orang yang melihat “potensi” tersembunyi dari dunia game. Makanya mereka berpikiran begitu. Namun, begitu mereka tahu bahwa sekarang sudah ada profesi sebagai gamer, mereka mungkin akan “geleng-geleng” kepala sendiri.
Sebut saja Monica Carolina. Wanita asal Jakarta itu berprofesi sebagai gammer wanita profesional sejak tahun 2008. Bermain game dengan genre first-person shooter (FPS) adalah hobinya sejak kecil. Saat duduk di bangku SMA, ia mulai rajin mengikuti berbagai turnamen game dan berhasil meraih juara dua dalam game Call of Duty 4. Hal itu ternyata membuatnya 'ketagihan' untuk berkompetisi melawan para gammer lainnya yang mayoritas adalah pria. Selama lima tahun berturut-turut mengikuti kompetisi, Wanita yang lebih dikenal dengan nama Nixia itu beserta empat orang timnya yang tergabung dalam NXA Ladies yang semuanya wanita berhasil memenangkan berbagai kejuaraan.
Barangkali profesi yang digeluti oleh Monica adalah impian bagi semua gamer. Betapa tidak, sudah bisa bermain game supuas hati, dibayar pula! Namun, itu hanyalah satu “sisi” yang menunjukkan bahwa kita bisa mencari “sesuap nasi” dari industri game. Sisi lainnya adalah profesi sebagai reviewer game. Sesuai namanya, reviewer game bertugas mengulas suatu game dan menjelaskan langkah demi langkah dalam mengatasi persoalan selama bermain game. Profesi tersebut belakangan menjadi trend, apalagi sejak youtube semakin digemari masyarakat.
Sebut saja reviewer game terkenal Diwantara Anugrah Putra dan Gema Cita Andika. Kedua reviewer tersebut mempunyai kanal di youtube yang terkenal, yaitu Tara Arts Game Indonesia. Di kanal itu, keduanya berbagi trik dalam menyelesaikan misi sebuah game. Bahkan, tak hanya itu, mereka pun sering memberi ulasan game yang baru rilis di Indonesia. Misalnya saja, sebelum game Pokemon Go dipublikasikan di Indonesia, mereka sudah bisa memainkannya. Pada beberapa video, mereka bahkan menampilkan cara berburu Pokemon. Dengan penjelasan yang renyah diselingi aksi kocak, enggak heran kalau video-video mereka tentang Pokemon Go banyak ditonton.
Salam.