Di dalam kehidupan ada yang namanya titik balik. Setelah kita menempuh sekian jauh perjalanan hidup ini, kita akan melihat banyak perubahan. Yang sering mengalami kegagalan akan menemukan keberhasilan. Yang sakit akan mengalami penyembuhan. Yang putus asa akan merasakan semangat. Semuanya itu terjadi karena adanya perubahan.
Tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri.
Barangkali petuah kuno itu dapat menjadi salah satu pedoman dalam menjalani kehidupan. Ibarat sebuah “arena offroad”, kehidupan ini memang sulit sekali kita tebak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan menanti kita pada masa depan, apakah itu sebuah keberhasilan, ataukah sebuah kemalangan. Namun, yang jelas, kita bisa tetap menikmati setiap momen yang penuh ketidakpastiaan ini dengan penuh syukur dan ikhlas.
Rasa syukur dan ikhlas dapat menjadi obat manakala hati kita tengah limbung terhantam sebuah prahara. Sebuah persoalan pelik yang kita pikir akan sulit teratasi, sehingga kita menjadi lekas pesimis, lekas putus asa, dan lekas galau dalam mencari solusi.
Sejenak saya teringat kisah seorang pelukis yang merasa putus asa lantaran kehilangan salah satu tangannya. Kecelakaan mobil yang dialami beberapa bulan yang lalu telah merenggut salah satu tangannya. Sebuah aset berharga yang dimiliki seorang pelukis seperti dirinya.
Pascaamputasi, berhari-hari, ia mengurung diri di kamarnya. Ia menolak kehadiran orang-orang terdekatnya, saudaranya, sahabat-sahabatnya. Stres? Sudah pasti. Bahkan, lebih buruk. Ia mengalami depresi, dan penyakit mental itu memunculkan pikiran liar: bunuh diri.
Lantaran terpengaruh oleh pikiran pendek tersebut, ia menaiki sebuah gedung. Ia berencana mengakhiri hidupnya saja lantaran sudah menyerah dihajar perasaan pesimis dalam hidup.
Sewaktu akan melompat, ia terdiam sejenak melihat seorang laki-laki tengah menari di pinggir jalan di bawahnya. Ia terpukau lantaran lelaki itu terlihat menari dengan penuh sukacita, dengan penuh kebahagiaan. Yang lebih unik lagi, lelaki itu bahkan tidak mempunyai tangan!
Ia merasa “tertampar” menyaksikan peristiwa itu. Dalam hati kecilnya, barangkali ia berkata: “Hei, lelaki itu saja dapat menari sebegitu bahagiannya walaupun tidak mempunyai tangan sama sekali. Sementara itu, lantaran kehilangan satu tangan, aku sudah terpikir untuk mengakhiri hidup.”
Setelah merasa tersadarkan, ia mengurungkan niatnya, dan pergi menemui lelaki itu. “Mengapa Anda bisa menari sedemikian riangnya, Pak,” katanya, penuh rasa ingin tahu. “Padahal, Anda sudah tidak punya tangan.”
“Saya tidak sedang menari,” jawab lelaki itu. “Saya cuma mau menggaruk (maaf) pantat saya.”