Sewaktu membongkar gudang, tanpa sengaja, tangan saya menyentuh Majalah Tempo edisi April 2013 yang memuat profil Kartini yang berulang tahun tepat pada hari ini. Kebetulan? Mungkin saja. Namun, yang jelas, isi majalah itu mengingatkan saya pada sosok “ibu legendaris” yang selalu dikenang lewat nyanyian dan pakaian adat.
Saya tidak begitu ingat alasan saya membeli majalah itu. Apakah pada saat itu, saya merasa “kepo” dengan kehidupan Kartini? Bisa jadi. Namun, tak hanya saya, para pembaca yang budiman mungkin juga merasa penasaran dengan sosok Kartini yang sesungguhnya.
Baiklah. Tanpa bermaksud “mengajarkan” sejarah, pada tulisan ini, izinkanlah saya berbagi sekelumit kisah Kartini yang saya sarikan dari majalah tersebut. Barangkali kita semua bisa memetik sebuah “hikmah” atas kehidupan Kartini.
Sekelumit Kisah Hidup Kartini
Sebagaimana diketahui, Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 dari pasangan RM AA Sosroningrat dan MA Ngasirah. Ayahnya Bupati Jepara, dan karena mewarisi “darah ningrat”, Kartini pun menyandang gelar Raden Ajeng.
Seperti anak bangsawan lainnya, Kartini mendapat pendidikan di lembaga pendidikan formal. Ia bersekolah di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School) dari tahun 1885 sampai 1892. Di situlah ia mempelajari pelbagai hal dan keterampilan, termasuk menulis, yang pada kemudian hari dijadikannya sebagai “senjata” untuk mendongkrak emansipasi perempuan.
Di sekolah itu pula Kartini mendapat julukan kuda kore (kuda liar). Julukan itu muncul lantaran sebagai anak bupati, ia menolak berjalan pelan layaknya “siput”. Selain itu, ia juga tak sungkan tertawa hingga giginya terlihat. Sebuah sikap yang pada saat itu disebut “kurang sopan” di kalangan para bangsawan.
Namun demikian, dari situ, kita jadi mengenal bahwa sejak masih sekolah, “semangat pemberontakan” terhadap adat telah mulai muncul dalam diri Kartini. Pemberontakan itu semakin kontras terlihat sewaktu ia menulis artikel tentang perkawinan pada Suku Koja berjudul Het Huwelijk bij de Kodja’s. Artikel itu kemudian diterbitkan di jurnal Bijdrade TLV pada tahun 1898.
Ketika Kartini Aktif Menulis
Mengapa Kartini memilih menulis sebagai sarana untuk “mengobarkan” pemberontakannya? Barangkali, menulis adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukannya pada waktu itu. Tidak ada cara lain yang lebih “halus” sekaligus “lugas” dalam menyuarakan kegelisahannya terhadap emansipasi wanita, kecuali lewat tulisan.
Apa yang dilakukan kartini mengingatkan saya pada Gao Xin Jiang. Gao Xin Jiang adalah sastrawan asal Tiongkok yang menyabet Hadiah Nobel Sastra pada tahun 2000. Hadiah itu diberikan, salah satunya, atas apresiasi Panitia Nobel terhadap novel monumentalnya, Gunung Jiwa.