Dalam rangka Festival Jakarta Great Sale 2016, sejumlah mall mengadakan acara midnight sale. Acara tersebut bertepatan dengan minggu gajian dan pemberian THR sehingga masyarakat tampak antusias mengikuti acara tersebut. Terlebih lagi, diskon yang ditawarkan cukup menggiurkan, yaitu 50% ke atas.
Kegiatan berbelanja dengan diskon besar seperti itu memang sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Orang Indonesia memang suka berbelanja, apalagi kalau barang yang dijual dipasang dengan harga murah. Sudah tentu banyak orang berbodong-bondong datang ke pusat perniagaan, yang menyelenggarakan diskon besar-besaran, hanya untuk mendapat barang dengan harga bagus.
Perhatikanlah toko pakaian yang penuh sesak oleh pengunjung lantaran terdapat diskon untuk setiap produknya. Perhatikan betapa semangatnya pengunjung, terutama ibu-ibu, berebut barang yang diinginkannya. Pengunjung tersebut rela berdesak-desakan, atau bahkan antri puluhan menit, asalkan berhasil mendapat barang yang diidamkannya.
Walaupun terlihat menggiurkan, acara semacam itu bisa menjadi sumber pemborosan. Pemborosan tersebut terjadi lantaran kita berbelanja tanpa perencanaan keuangan yang baik. Kita datang ke pusat-pusat niaga yang menyelenggarakan pesta diskon, hanya karena tertarik pada harga barang yang ditawarkan.
Akibatnya, kita cenderung membeli sejumlah barang yang sebetulnya tidak terlalu kita butuhkan. Setelah pulang ke rumah, kita menyesal telah menghabiskan banyak uang untuk barang-barang tersebut, dan bertanya-tanya, “Mengapa saya tertarik membelinya?”
Mengelola Anggaran dan Mengendalikan Emosi
Penyesalan seperti itu sebetulnya dapat dihindari asalkan kita memiliki perencanaan keuangan yang baik. Kita harus mampu mengelola anggaran dengan apik, dan berbelanja dengan bijak, sesuai dengan jatah anggaran yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu, jauh-jauh hari sebelumnya, kita harus menyusun anggaran keuangan sematang mungkin, sehingga hanya membeli barang berdasarkan anggaran yang ada.
Selain itu, kita pun harus pintar-pintar mengelola emosi. Semua putusan yang kita ambil untuk membeli sesuatu lebih dipengaruhi perasaan, daripada pemikiran. Sebagai contoh, kita mempunyai uang tiga juta di tangan untuk membeli beberapa perabot di mall. Namun, begitu masuk, kita mendengar info bahwa sedang ada diskon besar-besaran di sebuah toko handphone.
Kini kesempatan untuk memiliki handphone tersebut terbuka lebar. Apalagi sekarang harganya sudah jauh turun daripada sebelumnya. Nah, kemudian kita harus membuat putusan segera apakah akan membelinya atau tidak, sebab bisa saja ada orang lain yang juga ingin membelinya, dan diskon tersebut hanya berlaku hari ini. Apa yang akan kita lakukan?
Pikiran kita mungkin saja mengatakan, “Uang yang tersedia hanya digunakan untuk membeli perabotan.” Namun, pikiran tersebut kalah kuat dengan dorongan perasaan yang muncul. Oleh sebab itu, kita cenderung mengabaikan pikiran tersebut, dan membeli barang yang kita idamkan.
Mengatasi Kecanduan Berbelanja
Perasaan tersebut, kalau muncul sesekali, adalah sesuatu yang wajar. Namun, berbeda ceritanya, kalau perasaan tersebut malah menciptakan kecanduan. Orang yang sudah kecanduan berbelanja alias shopaholic sulit mengatasi dorongan membeli barang. Matanya susah berpaling pada deretan toko yang menulis “Diskon!” di depan pintu. Akibatnya, ia mudah sekali tergoda membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang tidak dibutuhkannya.