Andaikan saya punya sepasang "antena" di kepala layaknya seekor lebah, pastilah antena itu akan aktif bergerak ke sana-ke sini, terutama sewaktu "menangkap" informasi tentang tanah dan rumah. Bagi saya pribadi, informasi tersebut sama pentingnya dengan kabar laju perekonomian dan situasi politik dalam negeri. Makanya, jika mendengar sedikit saja berita tentang keberadaan tanah dan rumah yang dijual dengan murah, saya menjadi sedemikian "sensitif" dan "antusias".
Semua "keanehan" itu terjadi karena sampai saat ini, saya masih hidup bersama keluarga saya. Walaupun keluarga saya masih baik-baik saja, terkadang saya berpikir tak bisa tinggal selamanya dengan mereka. Suatu saat, saya akan "pergi" meninggalkan rumah. Apalagi, kalau saya sudah punya keluarga sendiri, kehadiran sebuah hunian yang nyaman jelas menjadi prioritas.
Makanya, sejak beberapa tahun belakangan, saya berencana membeli tanah, dan syukur-syukur bisa membangun rumah pribadi. Dengan demikian, saya bisa hidup jauh lebih mandiri.
Namun demikian, ternyata mencari tanah dan rumah yang "potensial" itu susahnya bukan main. Pernah saya dan teman saya blusukan mengunjungi sebuah perumahan di kawasan Cibitung. Namun, ternyata kami sudah sangat terlambat karena mayoritas tanah dan rumah di situ ludes diborong orang lain.
Padahal, kami melihat potensi yang bagus di situ lantaran terletak di sekitar Stasiun Cibitung yang akan beroperasi tahun ini. Andaikan ngotot membeli tanah di situ, kami tentu harus bersedia mengeluarkan dana berkali-kali lipat karena harga tanah juga telah naik. Sungguh sayang memang!
Akhirnya, niat untuk membeli tanah dan rumah ditunda dalam "tempo yang sesingkat-singkatnya". Entah kapan. Mungkin tahun ini. Mungkin juga tahun depan. Namun, yang jelas, keinginan untuk mempunyai rumah pribadi tetap "membara" di hati kami. Cieilee.
Bagaimana kalau beli apartemen saja? Sampai sekarang, belum ada niat saya untuk tinggal di apartemen. Saya merasa kurang sreg tinggal di situ. Saya tak bisa membayangkan bahwa sewaktu membuka pintu untuk pergi keluar, saya akan "menyapa" pintu tetangga, dan saya mesti mengalaminya setiap hari. Waduhhh! Betapa monotonnya pemandangan kalau begitu!
Saya justru lebih senang begitu buka pintu, langsung melihat halaman yang luas dengan beraneka tanaman hias di sekitarnya. Bunga krisan, anyelir, dan mawar terlihat indah "mewarnai" pekarangan. Rasanya, sewaktu melihat pemandangan hijau seperti itu, hati menjadi lebih "adem" dan "damai".
Namun demikian, itu sekadar pilihan yang didasari oleh kecocokan. Setiap orang tentu punya "selera" yang berbeda soal pilihan tempat tinggal, dan tentunya kita wajib menghormati pilihan yang sudah diambil orang lain.
Jangan sampai kita berdebat dengan orang lain hanya karena kita menyukai satu pilihan dan membenci pilihan lainnya, seperti kasus yang dialami kawan saya. Kawan saya sempat berselisih pendapat dengan abangnya gara-gara abangnya berencana membeli sebuah apartemen di Jakarta.
Abangnya memang baru saja mulai bekerja sebagai akuntan di Jakarta, dan rencananya dia akan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya untuk membayar DP apartemen. Dengan demikian, keinginan yang sudah dimilikinya sejak lama dapat terwujud.