“Gila! Dia menikah minggu ini? Kok bisa? Padahal, gue aja enggak tahu kalau dia punya pacar sebelumnya, tapi tahu-tahu dia sudah mau menikah aja.”
Demikian isi obrolan salah seorang rekan kerja yang “menyentuh” liang telinga saya tanpa sengaja. Bukannya bermaksud menguping pembicaraan orang, namun lantaran suaranya sampai “menembus” sekat ruangan, dengan “sedikit” terpaksa, saya mencuri dengar obrolan tersebut.
Lantaran enggak terlibat langsung, saya hanya bisa menyatukan keping demi keping informasi yang diperoleh dari obrolan tersebut. Dari situlah saya baru bisa “merekonstruksi” kisahnya secara utuh. Dari situ pulalah saya mengetahui bahwa yang menjadi bahan obrolan di antara rekan kerja saya rupanya adalah teman kelasnya sendiri.
Sebagaimana diceritakan, temannya dulu dikenal sebagai sosok yang pendiam sewaktu di sekolah. Dia adalah orang yang betul-betul menjaga privasi alias tertutup banget, mungkin karena “jaim” alias jaga imej atau karena memang sudah sifatnya demikian. Yang jelas, di mata teman-teman lain, hidupnya tampak adem-ayem saja, jauh dari hingar-bingar, apalagi gosip di kelas.
Enggak hanya dalam pergaulan antarteman, dalam hal cinta pun, dia “menyekat” rapat-rapat kisah kasihnya. Enggak semua temannya mengetahui dengan siapa dia berpacaran. Makanya, ketika dia menyampaikan kabar akan segera melangsungkan penikahan, teman-temannya sontak kaget. Mereka seolah enggak percaya bahwa dia yang dulunya cenderung enggak banyak omong dan tingkah di kelas akan “mengarungi” bahterah rumah tangga dalam waktu dekat!
Sebetulnya enggak ada yang salah dengan sikap tersebut. Menurut saya, sah-sah saja kalau dia merahasiakan hubungan cintanya kepada publik. Memang enggak ada kewajiban bagi seseorang untuk mengumbar kemesraan di depan orang lain. Enggak ada juga keharusan bagi setiap pasangan untuk mem-posting foto bersama pacarnya di instagram atau facebook. Itu murni soal pilihan, soal sikap yang diputuskan seseorang terkait kehidupan percintaannya.
Namun demikian, tentu ada “sebab” yang membikin dia bersikap demikian. Nah, itulah bagian yang menarik buat ditilik. Untuk menjelaskan hal tersebut memang tersedia beragam kemungkinan. Salah satunya ialah bahwa dia mungkin saja merasa jengah, malu, dan sungkan kalau kisah asmaranya “dibongkar” ke teman-temannya.
Bagi yang pernah diledek soal cinta, pasti memahami hal tersebut. Ya, bagi yang mempunyai kepribadian introvert, ledekan semacam itu bisa “menggoreskan” luka di batin, apalagi kalau ledekan tersebut terkesan melecehkan dan disampaikan berulang-ulang.
Biarpun tujuannya hanya sekadar guyon, tetap saja, hal itu bisa menyinggung perasaan. Siapa sih yang enggak dongkol, sewot, dan sebal kalau kisah asmaranya diolok-olok di depan orang lain? Makanya, daripada malu terus diledek, orang tersebut kemudian menyembunyikan hubungan asmaranya.
Kalau sudah terjadi demikian, masa pacaran pun biasanya dijalani secara diam-diam. Bagi yang menjalani model percintaan demikian, masa pacaran betul-betul dimanfaatkan untuk mengenal pasangan lebih dalam, bukannya ajang pamer di media sosial.
Makanya, mereka enggak takut kehilangan “kenangan manis” lantaran jarang ber-selfie bersama. Justru yang mereka takutkan adalah kehilangan momen-momen “kebersamaan” itu sendiri.
Kemudian, ketika keduanya telah “klop” dan siap menikah, barulah mereka memperlihatkan kemesraannya di depan umum. Barangkali itulah yang bisa kita sebut “diam-diam menikah”. Pacarannya diam-diam, pernikahannya terang-terangan. Hahahahahaha.
Namun, beda kasusnya kalau kita menjumpai teman yang “menikah diam-diam”. Di masyarakat, pernikahan itu justru sering mendapat “stigma negatif”. Betapa tidak! Sudah sering kita melihat dan mendengar bahwa pernikahan tersebut dilakukan karena “ada apa”-nya, bukan “apa ada”-nya.
Misalnya, kasus “nikah siri” yang sempat menjadi “buah bibir” di masyarakat beberapa tahun lalu kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pernikahan kayak gitu biasanya dilangsungkan karena sejumlah motif, seperti ekonomi, keturunan, dan gengsi.