Saya merasa kurang nyaman sewaktu listrik di rumah saya tiba-tiba saja padam. Sebab, sebagian aktivitas saya pasti akan terganggu. Misalnya, saya sulit melakukan pekerjaa lantaran saya terbiasa menyelesaikan tugas dengan memakai perangkat elektronik, seperti gawai dan laptop, yang jelas membutuhkan “asupan” listrik sebagai tenaganya. Jika listrik padam dan baterai perangkat itu ternyata tersisa sedikit, saya biasanya akan gelisah. Apalagi kalau pada saat itu, saya harus merampungkan sebuah pekerjaan. Semua rencana yang sudah disusun untuk menuntaskan tugas tersebut bisa tertunda sementara waktu.
Namun, saya beruntung lantaran di daerah saya, pemadaman listrik berlangsung singkat, sekitar satu-dua jam saja, dan itu pun tidak terjadi selama berhari-hari. Maka, saya masih bisa menikmati listrik dalam waktu yang lama, tanpa banyak mendapat gangguan. Hal itu tentu berbeda dengan yang dialami masyarakat lain, terutama yang tinggal di pelosok. Mereka umumnya masih mengalami krisis listrik. Pasokan listrik yang belum tersebar rata di seluruh wilayah tanah air menjadi “biang keladi” terjadinya krisis tersebut.
"Lagi dibikin aturannya dalam bentuk Permen (Peraturan Menteri). Bisa tahun ini. Gas dekat di mulut gas, jadi nggak usah pakai pipa lagi," kata Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, sebagaimana dikutip dari detik.com.
Sejalan dengan konsep tersebut, pikiran saya tertuju pada sejumlah wilayah yang telah mencapai swasembada listrik. Swasembada listrik berhasil dicapai karena pemerintah setempat terlebih dulu memetakan potensi alam wilayah tersebut sebelum membangun infrastruktur pembangkit listrik. Sebut saja pulau Ta’u. Pulau Ta’u adalah bagian dari Samoa Amerika, yang memiliki intensitas sinar matahari yang berlimpah. Hal itu kemudian dimanfaatkan untuk menciptakan sumber listrik tenaga surya karena itu sesuai dengan potensi alam pulau itu.
Lebih dari 5.000 panel surya dan 60 Tesla power pack kemudian dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik di pulau tersebut. Utu Abe Malae, direktur eksekutif American Samoa Power Authority, mengatakan bahwa meskipun pelaksanaannya tidak mudah, tetapi teknologi itu merupakan “masa depan” bagi semua pulau-pulau di Samoa Amerika.
“Pengiriman bahan bakar dengan kapal telah lama menjadi risiko lingkungan, dan penggunaan uang pajak yang tidak efisien. Kami ingin seluruh Samoa Amerika didukung oleh tenaga surya pada 2040, tetapi Ta’u menjadi prioritas sekaligus uji coba,” kata Malae, sebagaimana dikutip di National Geographic.
Hal serupa juga diterapkan oleh Maroko. Maroko membangun pembangkit listrik bertenaga surya terbesar di dunia. Pembangkit itu dibangun di dekat Kota Ouarzazate. Menurut Dana Investasi Iklim, pembangkit itu bisa menghasilkan energi untuk mencukupi kebutuhan satu juta rumah pada 2018, sekaligus mengurangi emisi karbon sekitar 760.000 ton per tahun. Raja Maroko Mohammed VI telah memulai pembangunan tersebut pada 4 Februari 2016. Itu adalah proyek tahap pertama dari tiga proyek yang direncanakan.
Afrika memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangkit listrik tenaga surya karena Afrika merupakan wilayah yang mempunyai intensitas sinar matahari yang tinggi. Potensi itu sebagian besar masih belum dimanfaatkan. Direktur Bank Dunia untuk Maghreb Marie Francoise Marie-Nelly mengatakan bahwa langkah berani itu membuat Maroko menjadi negara perintis pengembangan teknologi hijau.