Dengan penuh kegigihan, Muhammad Saleh, seorang supir bis malam, sukses mendirikan sebuah sekolah gratis di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Lelaki berambut hitam gonderong itu membangun sekolah bernama Madrasyah Ibtibandiyah Swasta Darul Ulum di lahan warisan orangtuanya pada tahun 2009. Sekolah yang berdinding kayu dan beratap rumbaian daun itu pada awalnya melayani 15 siswa, dan memperkerjakan 9 guru.
Dengan menyisihkan pendapatannya, Muhammad Saleh menyokong kegiatan operasional sekolah, seperti menyediakan seragam, membeli buku pelajaran, dan menggaji guru. Kini jumlah guru dan siswa di sekolah itu terus bertambah.
Saya bertanya-tanya, “Apa ya yang menyebabkan lelaki lulusan SMA itu termotivasi mendirikan sekolah?”
Semua motivasi itu ternyata muncul atas keprihatinannya terhadap lingkungan. Ia mengamati bahwa kampungnya sangat minim fasilitas pendidikan. “Minim” bisa bermakna bangunan sekolah di kampung tersebut jumlahnya sedikit atau bahkan nihil.
Selain itu, andaikan tersedia bangunan sekolah, belum tentu masyarakat “sanggup” menyekolahkan anak-anaknya, lantaran keterbatasan ekonomi.
Alih-alih menyediakan anggaran untuk membayar SPP atau membeli perlengkapan sekolah, seperti seragam, buku, dan sepatu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat setempat masih merasa belum cukup. Oleh sebab itu, pendidikan berada pada urutan kesekian dalam daftar prioritas keluarga.
Nah, untuk mengatasi persoalan itu, Muhammad Saleh membangun sekolah, yang bisa melayani kebutuhan pendidikan masyarakat.
Angka Putus Sekolah
Selain meningkatkan pendidikan masyarakat, upaya yang dilakukan Muhammad Saleh sebetulnya juga membantu pemerintah dalam mengurangi angka putus sekolah. Sejauh ini di kota dan desa masih terdapat banyak anak yang mengalami putus sekolah.
Sebagai contoh, di Provinsi DKI Jakarta saja, kasus anak putus sekolah masih terjadi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2014, tercatat bahwa terdapat 197 kasus putus sekolah di tingkat SD, 431 di tingkat SMP, dan 1.332 di tingkat SMA/SMK (Sumber disdik.jakarta.go.id, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016).