Sewaktu tengah asyik nge-googling, mata saya tiba-tiba tertuju pada data BPS tentang angka penganggur di Indonesia. Menurut data itu, jumlah penganggur di Indonesia saat ini mencapai 7 juta orang. Walaupun jumlahnya turun dari tahun 2015, tetap saja angka itu masih terbilang tinggi.
Pengangguran tak hanya menimbulkan persoalan sosial, tetapi juga persoalan psikologi. Bagi yang pernah atau sedang menganggur, masa-masa “tidak-punya-kerjaan” adalah masa-masa yang kurang menyenangkan. Betapa tidak! Selain masa depan terasa samar seperti ditutupi bayang-bayang, sewaktu menganggur, kita cerderung bingung mau mengerjakan apa.
Alih-alih melakukan hal yang produktif, kita malah terjebak pada gaya hidup bermalas-malasan: bangun siang, tidur subuh. Hari-hari pun terasa sangat lama lantaran kita tidak memiliki kesibukan yang berarti.
Sementara itu, kita juga harus berhadapan dengan stigma negatif orang lain, terutama keluarga. Perasaan “tidak berguna” tentunya dapat muncul sewaktu kita mendengar obrolan miring tentang status kita. Obrolan itu bisa saja terus terngiang di pikiran kita dan membuat dada terasa sesak.
Belum lagi, kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, tagihan listrik, atau kredit motor, yang terus “menghantui” dompet, bisa-bisa membikin kita bertambah stres. Sudah tak berpenghasilan, dipandang negatif oleh orang-orang terdekat, sekarang malah didera stres pula. Sempurnalah sudah!
Namun, semua itu bukanlah akhir dari segalanya. Stres yang muncul sewaktu kita menganggur sebetulnya dapat diatasi. Caranya? Sederhana: lakukanlah pembandingan sosial.
Dalam tulisan “Gaji Rekan Kantor Lebih Besar, Apa yang Harus Kita Lakukan?” di bawah ini, saya telah menjelaskan “jurus” pembandingan sosial untuk mengatasi perasaan minder sewaktu kita mengetahui kalau gaji rekan kerja kita ternyata lebih tinggi daripada kita.
“Jurus” yang sama pun dapat diterapkan untuk menghalau stres yang timbul sewaktu kita menganggur. Caranya adalah kita merenungkan hal-hal yang masih kita miliki dan syukuri saat ini.
Sebagai contoh, walaupun menganggur, bukankah kita sedang memiliki kesehatan yang prima? Pikirkanlah sejenak orang-orang yang (maaf) kini tengah terbaring sakit di ruang ICU. Jangankan bebas bergerak atau berbicara, untuk bernapas pun mereka sulit!
Kemudian, bukankah kita juga mempunyai banyak waktu untuk menyalurkan hobi, menjelajah tempat baru, menjadi sukarelawan, atau mempelajari bahasa asing? Bandingkanlah dengan orang-orang yang waktunya banyak tersita untuk pekerjaan. Boro-boro menekuni hobi, untuk mengistirahatkan tubuh saja, mereka kurang punya waktu!
Jadi, sebetulnya, kalau kita terus merenung, masih banyak hal yang bisa kita syukuri. Namun demikian, pembandingan sosial jangan dijadikan sebuah dalih supaya kita malas mencari kerja. Pembandingan sosial hanya efektif dilakukan sewaktu kita menanti datangnya pekerjaan baru.