Belum lama ini, saudara saya meminta saya untuk membelikannya kamus bahasa Inggris tertentu, sebab guru bahasa Inggrisnya mewajibkannya untuk membawa kamus tersebut pada pertemuan berikutnya di kelas. Sewaktu ia mengirimkan foto kamus yang dimaksud, saya segera mengetahui bahwa kamus itu memang bagus dan lengkap karena sudah menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin belajar bahasa Inggris. Harganya? Tentu saja mahal, untuk kalangan tertentu. Yang softcover saja bisa mencapai harga rp 100.000, sementara yang hardcover sebesar rp 130.000-an.
Oleh karena harganya yang “cukup” menguras kantong, saya pun memberi sebuah saran: “Mengapa kamu enggak pake google translate saja? Kan lebih praktis?” Kemudian ia menjawab bahwa gurunya mengharuskan memakai kamus itu sewaktu belajar di kelas, dan ia kukuh pada pilihannya.
Yang membikin saya termenung sejenak adalah bukan soal sikap guru bahasa Inggrisnya yang “mewajibkan” penggunaan kamus tertentu. Bagi saya, setiap guru yang menganjurkan demikian tentunya punya suatu pertimbangan. Semua itu pasti dilakukan demi memaksimalkan proses belajar di kelas.
Namun, yang membuat saya bertanya-tanya: “Masih perlukah siswa membawa kamus ke kelas? Bukankah sekarang sudah ada kamus digital yang memungkinkan setiap siswa mencari kata tertentu lewat smartphonenya? Jadi, buat apa lagi siswa membawa kamus yang berat itu ke sekolah?”
Sebagaimana diketahui, kemajuan teknologi pada saat ini sudah membikin kita lebih mudah mempelajari bahasa asing. Berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya, yang mana sewaktu kita ingin menguasai bahasa asing tertentu, kita harus berkutat dengan kamus yang tebal, menghafal pelbagai struktur bahasa, dan mengingat sejumlah kosakata, kini semua cara belajar seperti itu sudah mudah ditinggalkan.
Sebab, kini kita mampu memanfaatkan sejumlah layanan belajar bahasa asing di internet. Enggak cuma bisa mengakses kamus digital, kita juga sudah bisa memakai jasa tutor bahasa Inggris via online untuk melatih kemampuan berbicara kita. Maka, pada saat ini, belajar bahasa asing itu boleh dibilang cukup mudah, murah, dan meriah.
Apalagi sekarang sejumlah perusahaan teknologi tengah mengembangkan berbagai model kecerdasan artifisial alias artificial inteligence. Sebut saja aplikasi google translate, yang sudah memakai teknologi kecerdasan buatan. Hanya dengan mengaktifkan fitur suara pada aplikasi tersebut, kita hanya perlu “berbicara” di dekat smartphone, dan sim sala bim… kata-kata yang kita ucapkan langsung terekam dan tertulis di smartphone tersebut. Kita pun sudah bisa segera menemukan makna kata yang dicari beserta cara pelafalannya.
Siri adalah teknologi kecerdasan buatan, yang terhubung langsung dengan produk Apple. Siri memungkinkan setiap penggunanya untuk memberi perintah secara lisan tanpa harus repot-repot mengetik di layar.
Kehadiran Siri mendapat sambutan hangat masyarakat, terutama pengguna produk Apple, karena Siri dinilai memiliki nuansa personal yang kuat. Sewaktu memakai Siri, kita seolah sedang “berkomunikasi” dengan makhluk hidup. Padahal, sesungguhnya siri hanyalah sebuah sistem tersusun atas algoritma yang rumit.
Perusahaan teknologi lainnya kemudian memperkenalkan model kecerdasan buatan karyanya sendiri. Sebut saja Amazon dengan Amazon Echo-nya, dan Microsoft dengan Microsoft Speech Recognation-nya. Semua teknologi itu memiliki tujuan yang sama: “Mengenali pola ujaran pengguna, dan kemudian mengakses fitur yang diinginkan sesuai dengan ujaran tersebut.”