Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cerita Saya Berdagang Minyak Goreng

21 Maret 2022   07:00 Diperbarui: 21 Maret 2022   11:25 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pagi, pelanggan yang datang ke toko saya kerap mengajukan pertanyaan yang nyaris sama: "Om, ada minyak goreng?" Pertanyaan ini awalnya belum begitu mengganggu saya. Namun, karena belakangan cukup sering ditanyakan, maka saya jadi bosan juga.

Hal ini tentu bisa dimaklumi, sebab sebelum subsidi dicabut, minyak goreng (murah) memang terbilang langka di pasaran. Pada waktu itu, sebagai pedagang, saya kerap kesulitan memperoleh jatah minyak goreng.

Permintaan saya terhadap stok minyak goreng tertentu sering dianggap "angin lalu" oleh distributor. Kalau pun sampai dipenuhi, maka yang diperoleh sering "berseberangan" dengan harapan saya.

Misal, saya pernah meminta stok minyak goreng sebanyak 30 karton, tetapi yang diberikan paling banyak lima karton saja. Saya tidak bisa leluasa meminta jumlah minyak goreng yang diinginkan seperti sebelumnya. Alhasil, dalam dua minggu terakhir, penjualan minyak goreng di toko saya kerap "kembang kempis".

Cerita di Balik Kelangkaan Minyak Goreng

Kelangkaan ini mulai terlihat beberapa minggu setelah pemerintah memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng pada awal bulan Februari kemarin. Harga yang dipatok bervariasi, bergantung pada kualitas minyak gorengnya, mulai dari Rp 11.500 untuk minyak curah hingga Rp 14.000 untuk minyak goreng kemasan premium.

Rentang harga tadi jelas jauh di bawah harga eceran sebelum subsidi. Saya ingat, sebelumnya, saya masih menjual minyak goreng dengan harga Rp 19.000 untuk kemasan 1 liter dan Rp 38.000 untuk kemasan 2 liter. Namun, begitu subsidi diberlakukan, harganya turun hampir separuhnya!

Kebijakan tadi tentu menjadi sebuah "angin surga" bagi para pembeli. Namun, bagi pedagang? Hal itu ternyata jadi masalah tersendiri! Sebab, jika harus mengikuti harga jual Rp 14 ribu, maka pedagang yang masih mempunyai stok di harga atas bakal merugi.

Saya pun sempat mengalami dilema semacam ini. Saya sempat bimbang, galau, dan khawatir kalau-kalau harus menanggung kerugian yang lumayan besar karena harus jual di harga bawah.

Belum lagi, pada waktu itu, stok minyak goreng di toko masih cukup banyak! Namun demikian, pada akhirnya, saya bisa menghabiskan stok minyak tadi, biarpun itu dijual dengan harga modal alias tidak dapat untung apa-apa!

Seperti sudah diketahui bersama, begitu subsidi minyak goreng diberlakukan, terjadi "euforia". Saya ingat, tetangga saya rela antri berjam-jam di supermarket hanya untuk memperoleh dua kantong minyak goreng. Pada waktu itu, setiap orang mendapat jatah maksimal dua kantong minyak goreng per hari.

Meskipun terkesan "ironis" mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, sehingga hampir mustahil warganya akan kekurangan minyak goreng, namun saya berpikir antrian semacam ini paling-paling hanya akan berlangsung beberapa hari saja.

Sebab, jika stok minyak murah yang dijanjikan pemerintah dalam 6 bulan ke depan nanti bakal "diguyur" lebih banyak ke masyarakat, maka setiap orang tentu bakal mendapat minyak goreng dengan harga yang murah tanpa harus berebut begitu.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, agaknya saya mesti merevisi pemikiran saya. Nyatanya, biarpun sudah ada banyak operasi pasar yang memasok minyak goreng murah, antrian panjang tetap saja terjadi. Orang-orang masih susah menikmati minyak goreng murah. Alhasil, kelangkaan minyak goreng pun tidak terelakkan!

Sebab-sebab Kelangkaan Minyak Goreng

Ada sebuah pertanyaan yang kemudian "menghantui" pikiran saya terkait kenaikan harga minyak goreng: "Mengapa bisa sampai terjadi krisis minyak goreng demikian? Bukankah dengan berlimpahnya biji sawit di Indonesia, seharusnya pasokan minyak goreng tidak akan tersendat dan harganya tidak akan begitu tinggi?"

Pertanyaan ini memang memiliki sejumlah jawaban. Di antaranya ialah fenomena "commodity supercyle". Fenomena ini sebetulnya cukup lazim terjadi setelah terjadi krisis ekonomi. Fenomena ini umumnya ditandai dengan melambungnya harga komoditas, termasuk minyak sawit, akibat tingginya permintaan di pasar.

Tingginya permintaan tadi disebabkan oleh pulihnya perekonomian sejumlah negara importir minyak sawit terbesar. Jika sebelumnya permintaan tadi menurun drastis akibat munculnya Pandemi Covid-19, maka tatkala kondisi ekonomi membaik, permintaan atas minyak sawit meningkat tajam.

Permintaan ini tidak bisa dipenuhi dengan segera mengingat sejumlah negara produsen minyak sawit, seperti Indonesia dan Malaysia, masih memberlakukan pembatasan sosial.

Alhasil, terjadilah kelangkaan, dan imbasnya harga minyak sawit, yang merupakan bahan baku pembuatan minyak goreng, melambung tinggi. Saat tulisan ini dibuat, harga minyak sawit menyentuh level 5600 Ringgit Malaysia per ton.

Alasan lainnya, terdapat faktor penimbunan. Saya kira, hal ini tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar, karena di sejumlah kanal berita sudah tersiar kabar bahwa ada oknum-oknum tertentu (mafia minyak goreng) yang dengan sengaja menimbun minyak goreng demi mengeruk keuntungan. Jika penimbunan tadi dilakukan dalam jumlah yang masif, katakanlah sampai ribuan karton, maka jangan heran kalau minyak goreng jadi begitu langka.

Hal ini belum termasuk praktik ilegal lain, seperti penyelundupan minyak sawit ke luar negeri. Penyelundupan ini terjadi lantaran harga minyak sawit di pasaran luar negeri lebih tinggi ketimbang di dalam negeri.

Maklum, beberapa waktu sebelumnya, pemerintah menerapkan kebijakan DMO terhadap minyak sawit, yang memaksa produsen untuk menjual produknya untuk pasar dalam negeri dalam jumlah yang lebih banyak dan harga yang lebih rendah. Kebijakan ini tentu saja tidak menguntungkan produsen, sebab produsen tidak bisa menikmati "cuan jumbo" dari naiknya harga sawit. Alhasil, jangan heran jika kasus penyelundupan minyak sawit meningkat di tengah krisis.

Alasan berikutnya, terjadi "panic buying" di tengah masyarakat. Fenomena ini memang agak aneh. Sebab, biarpun harga minyak goreng sudah disetarakan jadi Rp 14 ribu per liter, namun tetap saja masyarakat antri berebut minyak goreng. Agaknya masyarakat khawatir jatah minyak goreng murah bakal cepat habis, dan hal ini memicu aksi "panic buying".

Apalagi dalam waktu dekat, akan masuk bulan puasa. Pada bulan puasa, kebutuhan atas minyak goreng biasanya meningkat dan harganya bakal jadi lebih mahal. Demi mengantisipasi hal tersebut, orang-orang kemudian memborong banyak minyak goreng selagi harganya masih murah. Alhasil, distribusi minyak goreng jadi tidak merata, dan berdampak pada meningkatnya harga minyak goreng.

Setelah Subsidi Dicabut

Akhirnya, setelah melakukan sejumlah upaya, pemerintah resmi mencabut subsidi minyak goreng pada 16 Maret kemarin. Minyak goreng yang tadinya dihargai Rp 14 ribu untuk kemasan 1 liter sontak melonjak menjadi 24-26 ribu! Artinya dalam hitungan hari saja, kenaikannya mencapai 90%!

Tentu saja hal ini menambah beban yang mesti dipikul rakyat, mengingat kenaikan harga minyak goreng juga diikuti oleh produk-produk lain, seperti kopi, gula, telur, tepung, dan sebagainya. Tak hanya ibu rumah tangga yang terdampak, para pedagang, terutama yang mengandalkan minyak goreng untuk membuat makanan, juga ikut "menjerit".

Sebut saja salah satu langganan saya, yang sehari-hari berjualan tahu bulat. Ia bercerita, meningkatnya harga minyak goreng terasa begitu membebaninya. Hal ini turut memperbesar ongkos produksinya.

Jika ongkos produksi membengkak, sementara harga tahu bulat tetap dijual sebesar Rp 500 per buah, maka hal itu tidak akan cukup menutupi biaya operasional usahanya. Alhasil, ia pun kemudian bingung terhadap keberlanjutan usahanya tersebut!

Kegalauan masyarakat, seperti yang dirasakan oleh langganan saya tersebut, sepertinya bakal berlanjut setidaknya sampai bulan puasa. Pada saat itulah harga minyak goreng bakal terus bertahan di harga atas, atau yang lebih parah, bertambah mahal daripada sebelumnya!

Oleh sebab itu, mulai sekarang, sebaiknya orang-orang mulai mengencangkan ikat pinggang atau mencari alternatif lain, yang bisa menggantikan minyak goreng dalam membuat makanan. Hal ini memang tidak mudah, tapi masih bisa diusahakan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun