Hal ini bisa terjadi karena harga rokok dinilai masih terlalu murah, sehingga setiap orang, termasuk anak-anak dan remaja, mudah membelinya. Nah, untuk mencegah hal itu, pemerintah kemudian terus menaikan tarif cukai rokok dengan harapan bahwa rokok semakin susah dibeli oleh anak-anak karena harganya begitu mahal.
Sebaliknya, dari sisi ekonomi, kebijakan tadi tentu saja menambah berat beban yang ditanggung oleh produsen rokok dan petani tembakau. Wajar, kalau harga rokok terus melambung harganya setiap tahun akibat kenaikan tarif cukai, maka penjualan yang dibukukan oleh produsen rokok dapat menurun.Â
Imbas selanjutnya tentu bisa ditebak. Produsen rokok boleh jadi akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja demi mengurangi beban perusahaan, atau kalaupun masih sanggup bertahan, maka produsen tersebut tentu enggan memborong banyak tembakau dari petani, sehingga penghasilan para petani pun ikut berkurang.
Rontoknya Saham Emiten Rokok
Karena kebijakan tersebut dikhawatirkan menggerus penjualan dan laba yang bisa dicetak perusahaan dalam jangka panjang, maka jangan heran kalau harga beberapa saham emiten rokok kemudian "berguguran". Begitu kebijakan tadi diumumkan oleh Menkeu Sri Mulyani, saham HMSP dkk kompak "memerah" hingga mengalami Auto Reject Bawah.
Pada hari perdagangan berikutnya, penurunan tersebut masih saja berlanjut, meski nilainya mulai terbatas, tidak sedalam hari sebelumnya. Alhasil, hanya dalam waktu dua hari saja, saham emiten rokok rata-rata "sukses" mengalami penurunan 8-10%.
Tentu saja situasi ini membikin investor yang ingin membeli saham tersebut menjadi begitu waspada. Maklum, walaupun secara valuasi, saham-saham rokok sudah sangat murah, namun tidak ada jaminan bahwa harganya bakal "rebound" dalam waktu dekat. Boleh jadi, ini merupakan "sinyal awal" bakal terjadinya penurunan harga lebih lanjut.
Perkiraan ini bukan tanpa alasan. Saya ingat pada cerita teman saya yang dananya "nyangkut" selama lebih dari setahun karena saham rokok yang dibelinya amblas. Pada waktu itu, saham-saham rokok memang sempat "ambyar" cukup dalam akibat keputusan kenaikan cukai rokok yang diumumkan pada akhir 2019. Situasinya kurang-lebih mirip dengan sekarang, hanya saja pada waktu itu, penurunan harganya belum begitu dalam.
Teman saya berpikir bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara. Dalam jangka pendek, ia yakin harganya bakal pulih. Alhasil, ia pun menggelontorkan banyak dana untuk memborong salah satu saham emiten rokok di harga 2000-an.Â
Hasilnya? Alih-alih naik, harga sahamnya malah lanjut turun. Kini harga sahamnya berada di kisaran 1600-an, dan ia pun masih merugi di atas 25%.