Pengalaman ini sebetulnya belum lama terjadi, tapi kalau diingat-ingat, kesan yang ditimbulkannya begitu "membekas" di hati saya. Maklum, setelah beberapa tahun berinvestasi di pasar modal, baru kali ini, saya menyaksikan "crash" yang sangat "tajam" dan "kejam".
Peristiwa itu sebetulnya di luar perkiraan saya. Sebelumnya, saya mengira bahwa pada tahun 2020, pasar saham bakal mengalami "guncangan hebat" akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang berkepanjangan.
Wajar, perang tadi tak hanya memicu ketegangan bilateral antara kedua negara adidaya tersebut, tetapi juga ikut "menggoyang" pasar keuangan global. Alhasil, sejak perang tadi berkecamuk, pasar keuangan dunia cenderung "panas-dingin" dibuatnya.
Meski begitu, sayangnya, perkiraan saya meleset. Perekonomian dunia ternyata tidak hancur akibat perang dagang tadi, tetapi akibat Pandemi Virus Corona yang muncul secara tiba-tiba.
Kemunculan pandemi tersebut memang di luar dugaan banyak orang. Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa virus yang berasal dari sebuah kota di Tiongkok ini bakal "mendunia" dan melumpuhkan perekonomian global dalam waktu yang begitu cepat.
Efeknya pun sudah bisa ditebak: pasar saham di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, jadi merah membara. Pada bulan Maret kemarin, IHSG pun "terjun bebas" dari level 6000-an ke level 4000-an.
Sialnya, ketika hal itu terjadi, mayoritas dana yang saya miliki ada di dalamnya! Akibat saham-saham yang saya pegang rontok harganya, maka saya pun terkena capital loss yang sangat dalam.
Tidak tanggung-tanggung, dari keseluruhan dana yang saya investasikan, potensi loss yang saya alami nyaris 20 juta Rupiah!
Bagi investor yang belum punya jam terbang yang tinggi seperti saya, kejadian itu jelas bikin gamang. Berbagai pertanyaan menyeruak di benak saya.
Dalam krisis demikian, apa yang mesti saya lakukan untuk menyelamatkan portofolio investasi saya? Apakah saya mesti melakukan cutloss, membiarkan saja, atau justru membeli saham di harga yang lebih rendah?
Setelah mengamati stuasi yang terjadi, akhirnya saya menemukan jawabannya. Saya memutuskan mempertahankan saham-saham yang saya miliki, meskipun saya sadar, risiko yang saya tanggung bakal bertambah besar andaikan pasar saham terkapar lebih dalam lagi.