"Jadi tujuan kedua pelaku menyebarkan hoaks "rush money" dengan tujuan ingin menciptakan kondisi chaos seperti saat 1998," tegas Brigjen Selamet.
Kasus penyebaran hoaks "rush money" yang sempat menghebohkan masyarakat akhirnya terkuak. Beberapa waktu lalu, kepolisian menangkap dua tersangka yang disinyalir memprovokasi masyarakat untuk menarik semua dananya dari beberapa bank.
Hoaks yang disampaikan lewat media sosial itu pun sebelumnya sempat viral. Alhasil, Otoritas Jasa Keuangan sampai memberikan klarifikasi untuk menenangkan masyarakat.
Meski menyebut sejumlah bank di status medsosnya, namun kedua tersangka mengaku bukan nasabah dari bank-bank tersebut.
Mereka juga tidak tahu-menahu soal kondisi keuangan dari bank yang bersangkutan. Mereka beralasan hoaks tadi disampaikan untuk menciptakan kepanikan di tengah masyarakat.
Aksi cepat yang dilakukan oleh pihak berwajib untuk mencegah penyebaran hoaks tersebut tentu perlu diapresiasi. Sebab, jika dibiarkan terlalu lama, maka efeknya bisa begitu berbahaya.
Wajar, hoaks semacam ini memang dapat mengganggu stabilitas perekonomian. Apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang, kemunculan hoaks tadi bisa turut memperkeruh keadaan.
Memahami Bisnis Bank
Hal itu dapat terjadi bukan tanpa alasan. Sebab, "rush money" memang bisa menciptakan kerusakan ekonomi yang sangat masif dan sistemik. Untuk memahami hal ini, ada baiknya kalau kita mengetahui cara kerja bank.
Seperti diketahui, bisnis yang dijalankan bank sebetulnya cukup sederhana, yakni menghimpun dana dari masyarakat, lalu menyalurkannya sebagai kredit kepada orang yang membutuhkan pinjaman. Bank kemudian mendapat keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikan tadi.