Bumi Manusia adalah film Indonesia yang saya tunggu penayangannya pada bulan Agustus ini. Meskipun bukan penikmat film kolosal, saya tertarik menyaksikan film ini karena semasa kuliah, saya pernah membaca novelnya.
Bagi saya, isi novel yang ditulis Pramoedya Ananta Toer itu cukup menarik. Sebab, di dalamnya, kita disuguhkan kisah cinta antara dua sejoli, Minke dan Annelies, yang penuh "liku".
Disebut demikian karena sewaktu menjalin asmara, kedua tokoh tadi mesti menghadapi berbagai rintangan, baik yang berasal dari perbedaan kelas sosial maupun ideologi yang dianut. Maklum, di dalam novel, Minke digambarkan sebagai sosok revolusioner yang punya ideologi yang kerap "berseberangan" dengan Pemerintah Kolonial.
Bagi penguasa, gerak-gerik Minke wajib diawasi. Ia dianggap berbahaya karena dengan kecerdasannya, ia bisa mempengaruhi orang-orang di sekitarnya untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Sementara, Annelies, yang begitu dicintai Minke, ialah gadis keturunan Eropa (baca: Belanda). Meskipun hidup dalam kemapanan, bukan berarti Annelies bebas dari masalah. Persoalan terbesar yang selalu "membayangi" hidupnya ialah status sosial yang diembannya.
Wajar, sebagai seorang blasteran, Annelies punya kedudukan "abu-abu" di mata masyarakat. Orang-orang Eropa enggan mengakui keeropaannya karena di dalam tubuhnya mengalir darah pribumi, yang berasal dari ibunya, yakni Nyai Ontosoroh. Sebaliknya, orang-orang pribumi pun tidak berkenan menerimanya karena fisiknya menyerupai orang Eropa.
Oleh sebab itu, jangan heran, hidup Annelies serba terbatas. Ia mesti menjalani hidup yang berbeda dengan yang lain. Pilihan sekolahnya berbeda. Restoran tempat ia makan juga berbeda. Bahkan, fasilitas umum yang dipakainya juga berbeda! Ia mesti menerima kenyataan hidup demikian di tengah masyarakat yang sangat diskriminatif.
Di dalam novel, status itulah yang kemudian menciptakan konflik tersendiri dalam hidup Annelies. Konflik tadi bertambah intens setelah ia jatuh cinta dengan Minke, yang notabenenya adalah pribumi. Bagaimana dua manusia yang berbeda secara ras ini memperjuangkan cintanya? Selebihnya bisa disaksikan di film Bumi Manusia.
Perbedaan Semesta
Saya enggan menaruh harapan yang terlalu besar untuk film Bumi Manusia. Sebab, saya tahu, "semesta" yang terdapat di novel tentu berbeda dengan "semesta" yang ada di film. Biarlah semesta di film hadir "menyihir" para penonton dengan caranya sendiri.
Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo tentu mempunyai penafsiran dan kreativitas tersendiri sewaktu membesut film ini. Dengan pengalaman yang mumpuni, ia tentu bisa menyajikan film dengan apik, tanpa mengurangi substansi cerita.