Bagi saya, dunia investasi ibarat "destinasi wisata" yang asyik untuk ditelusuri. Sejak beberapa tahun lalu, saya sudah mencicipi beragam jenis instrumen investasi. Dari awalnya cuma coba-coba, akhirnya saya malah "ketagihan" berinvestasi sehingga mengetahui plus-minus dari beberapa instrumen investasi tadi.
Alasan saya berinvestasi sebetulnya sederhana. Saya hanya ingin "melestarikan" uang yang dimiliki. Maklum, ketika inflasi membikin harga kebutuhan sehari-hari terus merangkak naik, saya mesti memutar otak supaya uang yang dikumpulkan dengan susah payah tidak tergerus nilainya.
Setelah cari info sana-sini, akhirnya saya tahu bahwa satu cara untuk mengimbangi laju inflasi tadi adalah dengan berinvestasi. Maka, saya kemudian rutin menyisihkan sebagian pendapatan untuk diinvestasikan ke sejumlah instrumen, dari yang tingkat risikonya rendah hingga tinggi.
Alasan lainnya, saya bisa ikut mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). SSK adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional dapat berfungsi secara efektif dan efisien, serta dapat bertahan manakala diterjang krisis. Jika diibaratkan, SSK adalah "iklim" yang memengaruhi bertumbuh-tidaknya perekonomian di Indonesia.
SSK perlu dijaga sebaik mungkin supaya perekonomian Indonesia bisa terus berkembang dengan maksimal. SSK dapat diwujudkan dengan menerapkan Kebijakan Makroprudensial. Kebijakan yang digagas oleh Bank Indonesia ini bertujuan mencegah dan memitigasi semua risiko ekonomi yang sifatnya sistemik, seperti "tsunami finansial", yang sempat memorak-porandakan perekonomian global pada tahun 2008.
Saya kira, menjaga SSK bukan cuma tanggung jawab Bank Indonesia dan lembaga terkait, melainkan juga masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan mewujudkan SSK, sebetulnya kita ikut membantu perekonomian Indonesia. Bukankah kalau ekonomi Indonesia semakin baik, semakin makmur pula masyarakatnya?
Biarpun tidak berwenang mengatur kebijakan secara langsung, bukan berarti kita tidak bisa ikut berpartisipasi menjaga SSK. Saya kira, setiap orang punya cara tersendiri untuk melakukan hal itu. Ada beragam cara yang bisa dilakukan, dan cara yang saya lakukan ialah dengan berinvestasi di beberapa instrumen berikut.
Deposito
Ini adalah instrumen investasi yang paling aman dan dasar. Saya berinvestasi di deposito pada awal-awal "terjun" ke dunia investasi. Pada waktu itu, saya memilih program deposito yang ditawarkan sebuah bank daerah. Programnya cukup unik. Sebab, dengan uang minimal 10 juta rupiah, saya sudah bisa mendepositokan uang saya.
Selain itu, program ini juga tidak terikat jangka waktu. Saya bisa mencairkan deposito tadi kapanpun. Tidak ada penalti sama sekali kalau-kalau deposito tadi dicairkan sebelum jangka waktu yang telah ditentukan.
Alasan saya berinvestasi di deposito adalah karena bunganya lebih tinggi daripada bunga tabungan. Alasan lainnya, deposito tadi dijamin sepenuhnya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga yang menjadi "partner" Bank Indonesia dalam menjaga SSK tersebut memang bertugas "mengawal" keamanan setiap dana (maksimal 2 miliyar rupiah) yang disimpan di bank.
Pemberian pinjaman tadi tentu tidak diberikan secara sembarang. Ada Kebijakan Makroprudensial yang mengatur mekanismenya. Sebut saja kebijakan Debt-to-Income (DTI).
Kebijakan tersebut membatasi jumlah pinjaman yang bisa diambil seseorang berdasarkan nominal pendapatan yang diperoleh setiap bulan. Lewat kebijakan tadi, seseorang yang berpenghasilan 10 juta per bulan, misalnya, hanya boleh menerima pinjaman dari bank sebesar 3-5 juta alias separuh dari penghasilannya tadi.
Kebijakan itu dilakukan untuk meminimalkan risiko kredit macet, yang sewaktu-waktu mungkin saja terjadi. Dengan adanya kebijakan tadi, bank dapat terus menyalurkan kredit dengan tingkat risiko yang terkendali, sementara nasabah tetap bisa mengajukan pinjaman untuk mencukupi kebutuhannya.
Belum lagi ada kebijakan Loan-to-Value (LTV). Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengurangi aksi spekulatif yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Kebijakan ini mensyaratkan uang muka yang lebih besar untuk pemilikan aset lebih dari satu.
Misal, jika saya sudah mempunyai sebuah rumah, dan kemudian ingin mengambil rumah lain, saya wajib membayar uang muka yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Jadi, kalau uang muka yang mesti disetorkan untuk memiliki rumah sebelumnya sebesar 15%, untuk rumah berikutnya, nilai tadi akan bertambah jadi 20%. Demikian seterusnya untuk rumah-rumah lainnya.
Tak hanya untuk individu, pinjaman tadi juga sering disalurkan kepada perusahaan. Untuk itu, kebijakan yang diterapkan sedikit berbeda dari sebelumnya.
Satu kebijakan yang "hangat" dibahas adalah Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Kebijakan ini mengatur batasan pembelian obligasi perusahaan dan penerbitan obligasi yang dilakukan oleh bank.
Pada tahun ini, Bank Indonesia melakukan relaksasi RIM. Ketentuan RIM pun diubah dari yang tadinya 80%-92% menjadi 84%-94%. Hal ini diharapkan mendorong perbankan lebih aktif memiliki obligasi korporasi atau menerbitkannya.
Relaksasi ini tentu tidak mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan risiko yang terukur, aturan ini justru menguntungkan bank-bank, yang mempunyai rasio kredit macet (Non-Loan Performing) yang rendah dan permodalan yang kuat. Berkat relaksasi demikian, laju perekonomian di tanah air diharapkan bisa berputar lebih kencang.
Saving Bond Ritel (SBR)
Saving Bond Ritel (SBR) adalah instrumen investasi lain yang sempat saya cicipi. Saya ingat membeli beberapa unit SBR003 pada Bulan Mei 2018. Awalnya saya sempat ragu berinvestasi di instrumen ini. Wajar, saya baru pertama kali melakukannya.
Untuk mengatasi keraguan tadi, saya sampai menghadiri peluncuran SBR003 di Ciputra Artpreneur. Lewat acara itu, saya jadi lebih paham bahwa surat tersebut sejatinya diterbitkan untuk mencukupi anggaran belanja negara, khususnya pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Sewaktu menerbitkan SBR tadi, Kementerian Keuangan berkomitmen menjamin keamanan dana investor. Semua prosesnya sudah memiliki dasar hukum yang jelas.
Atas dasar itulah akhirnya saya membeli beberapa unit SBR tadi. Tak hanya bisa memperoleh imbal hasil yang lebih besar (sukubunga mengambang 6,8%), dengan memiliki SBR tersebut, saya bisa ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan di masyarakat.
Financial Technology (Fintech)
Di antara semua instrumen investasi yang pernah saya jajal, financial technology alias fintech tergolong level "medium". Sebab, imbal hasil yang ditawarkan bisa lebih tinggi daripada deposito dan SBR. Nilainya 10% s.d. 20% per tahun. Meski begitu, risiko yang mesti ditanggung juga sebanding dengan tingkat keuntungannya.
Perkenalan saya dengan fintech sebetulnya terjadi tanpa disengaja. Pada tahun 2017, saya mendapat undangan untuk meliput acara di sebuah bank nasional. Acara tadi menghadirkan dua narasumber. Nah, salah satunya adalah CEO perusahaan fintech peer-to-peer lending yang kini namanya sudah dikenal luas.
Lewat uraiannya, saya jadi tahu bahwa fintech terus berkembang di tanah air. Buktinya, kini bermunculan banyak perusahaan fintech yang menawarkan beragam jenis layanan.
Sebelum memutuskan berinvestasi, saya tentu mempelajari latar belakang perusahaan fintech tadi. Maklum sekarang ada begitu banyak kasus "investasi bodong". "Korban"-nya pun bertebaran di mana-mana. Supaya investasi berlangsung aman, saya mesti memastikan legalitas perusahaan tadi terlebih dulu.
Acuan saya dalam mengecek legalitas perusahaan tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini bertugas mengawasi pelaksanaan regulasi sejumlah lembaga keuangan, seperti Bursa Efek Indonesia, perbankan, hingga fintech.
Seperti halnya LPS dan Kementerian Keuangan, OJK adalah salah satu "partner" Bank Indonesia dalam menjaga SSK. Selain memantau kesehatan institusi keuangan di Indonesia, lembaga ini juga memastikan kode etik pelaku pasar dan mendukung iklim investasi yang sehat. Singkatnya, lembaga ini berperan mempertahankan kepercayaan investor sehingga investor merasa aman dan yakin untuk berinvestasi di sejumlah institusi keuangan.
Saham
Instrumen investasi yang saya coba berikutnya ialah saham. Harus diakui, investasi yang satu ini punya tingkat risiko yang tinggi. Jika salah mengambil putusan investasi, investor bisa menanggung kerugian yang besar.
Pasar saham adalah salah satu Elemen Sistem Keuangan, yang menyangga SSK di tanah air. Elemen lainnya adalah Bank, Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB), Korporasi, Rumah Tangga, dan Infrastruktur Keuangan.
Lembaga yang berwenang mengelola pasar saham adalah Bursa Efek Indonesia. Dalam menjalankan usahanya, lembaga ini bekerja sama dengan OJK.
Kerja sama tadi dilakukan untuk melindungi para investor. Jangan sampai investor dirugikan karena adanya "fraud" yang dilakukan sejumlah oknum. Dengan begitu, kepercayaan investor dapat terus terjaga dan risiko keuangan yang sifatnya sistemik bisa ditekan seminim mungkin.
Selektif
Sebetulnya ada instrumen investasi lain yang sempat saya pilih, yaitu cryptocurrency. Pada tahun 2017, ketika sedang booming, saya tertarik berdagang bitcoin dan teman-temannya. Untung memang, tetapi investasi ini kemudian saya tinggalkan. Alasannya, perdagangan cryptocurrency sifatnya sangat spekulatif, mirip dengan kasino.
Investasi demikian tentu bisa merusak SSK. Sebab, kalau sampai mengalami bubble, investasi tersebut akan menghanyutkan banyak modal, menghancurkan kepercayaan investor, dan, lebih parah lagi, menularkan efek negatif bagi perekonomian bangsa.
Beda dengan investasi yang saya geluti. Biarpun cuma "secuil", dengan menjadi investor, setidaknya, saya bisa berkontribusi "membesarkan" perekonomian nasional. Dengan demikian, hal itu tentu akan berimbas positif bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H