Musim kemarau sepertinya tak hanya melanda sejumlah daerah di tanah air, tetapi juga Bursa Efek Indonesia. Disebut demikian karena ada sedikit sekali sentimen yang mampu mendorong laju IHSG. Setelah "euforia pascapilpres" yang menyebabkan IHSG naik hingga 6.300-an, kini para investor dibayangi "musim kemarau" yang kering sentimen positif.
Hal itu boleh jadi disebabkan oleh beberapa isu yang bikin jantung investor berdebar-debar. Sebut saja isu perang dagang yang lagi-lagi belum menemui titik cerah.
Biarpun beberapa waktu lalu, Presiden Trump telah menghapus Huawei dari "daftar hitam", bukan berarti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok sudah berakhir sepenuhnya.
Bisa jadi keputusan tadi sifatnya hanya sementara. Kalau ada sedikit saja "gesekan" yang terjadi pada kemudian hari, bisa saja, hal itu dapat memanaskan kembali hubungan kedua negara tersebut.
Kondisi itu kemudian diperkeruh dengan isu resesi yang "menghantui" perekonomian dunia. Maklum, bayang-bayang resesi masih saja membikin investor waswas.
Apalagi setelah IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. IMF yang tadinya memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan bertumbuh 3,5% harus merevisi proyeksi tadi menjadi 3,3% pada tahun 2019.
Atas dasar itulah, selama beberapa bulan ke depan, kondisi bursa mungkin saja akan stagnan, atau bahkan turun.
Meski begitu, bukan berarti kita tidak boleh berinvestasi saham. Dalam situasi seperti itu, investasi saham masih bisa dilakukan. Asalkan strateginya diubah, kita dapat tetap berinvestasi dengan aman di tengah kepungan sentimen negatif yang melanda bursa saham.
Saya pribadi mulai berinvestasi dengan mengubah porsi saham dan uang tunai. Jika beberapa bulan sebelumnya, saya menggunakan 75% dari uang saya untuk membeli saham dan 25% sisanya disimpan di bank. Kini porsinya dibalik.
Sekarang saya justru menganggarkan hanya 25% saja dari total aset yang dimiliki untuk memborong saham. Alasannya sederhana. Kalau sewaktu-waktu, saham yang saya beli anjlok cukup dalam akibat dihantam krisis, saya masih bisa membeli lagi dengan harga yang lebih murah. Saya masih punya cukup modal untuk menambah porsi saham tadi, sehingga suatu saat, ketika pasar pulih, saya bisa mendapat capital gain yang besar.
Strategi tadi sebetulnya terinspirasi dari pengalaman DR Tan Chong Koay. DR Tan Chong Koay adalah pendiri Pheim Asset Management, yang mengelola beragam jenis produk reksadana. Sebagai seorang praktisi yang berkecimpung di pasar modal selama 40 tahun, ia telah melewati berbagai krisis, dari yang skalanya kecil hingga besar.
Satu krisis yang terpatri dalam ingatan DR Tan ialah krisis ekonomi tahun 2008. Pada waktu itu, saat investor lain "gigit jari" lantaran portofolio sahamnya "berdarah-darah", ia justru memperoleh untung besar. Semua itu bisa terjadi karena perusahaannya menyimpan 53% aset dalam bentuk uang tunai, sementara sisanya dalam wujud saham.
Jadi, saat krisis merontokkan mayoritas bursa saham di kawasan Asia, DR Tan tidak panik. Oleh karena punya cadangan uang tunai yang banyak, ia bisa memborong lebih banyak saham bagus yang harganya sedang didiskon. Setahun kemudian, bursa saham "mantul", dan ia pun menuai capital gain ratusan persen!
Makanya, dalam kondisi paceklik seperti sekarang, investor seyogyanya menyimpan uang tunai lebih banyak daripada saham. Selain mengubah porsi tadi, investor juga bisa mulai mencicil saham sedikit demi sedikit untuk meredam gejolak harga.
Semua itu dilakukan untuk berjaga-jaga kalau suatu saat terjadi krisis. Dengan demikian, investor dapat tetap berinvestasi dengan nyaman tanpa dikhawatirkan bayang-bayang krisis yang mungkin saja akan terjadi.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H