Rumah berlantai dua itu tiba-tiba menjadi ramai. Ada banyak orang yang berkunjung ke situ. Sebagai tuan rumah, Charlie menyambut para tamunya dengan ramah. Ia menyuguhkan beragam jenis makanan dan minuman. Sesekali ia juga mengajak beberapa orang untuk berkeliling rumah barunya tersebut.
Sejujurnya saya kagum dengan Charlie. Dalam usia tiga puluhan, ia sudah memiliki properti. Ia sepertinya punya wawasan jangka panjang. Bahwa, kalau terus menunda membeli rumah, beberapa tahun ke depan, harga rumah akan telanjur naik dan anggaran yang mesti disediakannya akan membengkak. Makanya, biarpun per Mei 2019, suku bunga acuan yang ditetapkan Bank Indonesia menyentuh angka 6%, ia tetap berani mengambil properti.
Charlie membeli properti ketika pasar properti di tanah air sedang "limbung". Pasalnya, kenaikan harga properti berbanding terbalik dengan kondisi pasar. Jika harga properti terus naik dari tahun ke tahun, tren pasar justru terlihat "lesu".
Ada berbagai alasan yang menyebabkan hal itu. Di antaranya ialah tingkat suku bunga yang terus naik. Pada tahun 2018 saja, Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebanyak 6 kali. Hal itu mesti dilakukan untuk "mengimbangi" langkah Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang cenderung hawkish. Dengan demikian, nilai tukar rupiah terhadap dollar dapat stabil, dan laju inflasi bisa terkendali.
Sayangnya, kebijakan tadi akhirnya berimbas pada pasar properti. Penjualan properti jadi "seret". Orang-orang urung beli properti karena bunga kredit yang mesti dibayar terlalu tinggi. Makanya, jangan heran, saham-saham properti, seperti SMRA, BSDE, dan CTRA, terus berguguran biarpun kinerja emitennya tidak jelek-jelek amat.
Para pengembang tentu berharap suatu saat suku bunga bisa turun serendah mungkin. Kalau hal itu terjadi, tentu pasar properti akan kembali bergairah. Ada begitu banyak orang yang akan mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). "Rumah impian" bukan lagi sekadar impian.
Hanya saja, hal itu juga berpotensi "menelurkan" risiko. Ingat "tsunami finansial" yang menghantam perekonomian Amerika Serikat pada tahun 2008? Semua itu di antaranya berawal dari mudahnya orang memperoleh KPR. Hal itu bisa terjadi setelah lembaga investasi mengandalkan skema peminjaman berbasis Collateral Debt Obligation (CDO).
CDO sejatinya adalah "bundelan KPR" yang ditransaksikan sebagai sebuah instrumen investasi. Kehadiran CDO yang populer pada awal tahun 2000-an mampu memompa gairah properti di Negeri Paman Sam. Pasalnya, dengan kemunculan CDO, risiko yang ditanggung lembaga investasi, seperti kredit macet, bisa ditekan. Hal itu dapat terjadi karena lembaga investasi "melemparkan" semua risiko kepada pihak lain.