Sewaktu harga saham Apple tergerus beberapa pekan lalu, alih-alih cemas, Warren Buffett justru merasa senang. Pasalnya, "investor legendaris" dari Omaha tersebut bisa membeli lebih banyak saham Apple dengan harga murah. Sebelumnya, Buffett memang telah memiliki 252 juta lembar saham Apple pada tahun 2018, dan kalau jadi mengoleksi saham Apple lagi, total sahamnya tentu akan bertambah melampaui angka 5% dari miliknya sekarang.
Strategi yang dilakukan Buffett disebut sebagai averaging down. Strategi ini biasanya dilakukan manakala saham yang sudah kita beli ternyata malah anjlok. Agar nilainya kembali lebih cepat, kita membeli lebih banyak saham tersebut dengan harga lebih rendah. Nanti nilai rata-rata pembeliannya akan mendekati harga terkini, dan begitu harganya "pulih", kita akan lebih singkat memetik keuntungan.
Biarpun bisa "memangkas" jarak harga, strategi averaging down tidak bisa diterapkan pada sembarang saham. Strategi ini hanya boleh dipakai untuk saham-saham tertentu yang "menjanjikan" rebound begitu harganya jatuh. Saya ingat pernah menggunakan strategi ini manakala saham perusahaan elektronik yang saya miliki nilainya jatuh dalam beberapa hari.
Alih-alih menjadi panik dan segera melepas saham tersebut, saya justru melihat penurunan harga itu sebagai sebuah peluang untuk membeli lebih banyak saham tersebut.
Saya merasa yakin bahwa setelah jatuh sekian persen, harganya akan "mantul" lebih tinggi daripada sebelumnya. Makanya, begitu harganya rontok sekitar 4% dari harga beli sebelumnya, tanpa ragu, saya langsung menyambar beberapa lot lagi untuk menambah pemilikan saham saya.
Keyakinan itu muncul bukan tanpa dasar. Sebab, saya mengetahui dari laporan keuangannya bahwa saham perusahaan itu punya fundamental yang kuat. Laba per saham alias earning per share-nya terus bertumbuh dalam empat tahun terakhir. Laba perusahaan di laporan keuangan kuartal III tahun 2018 juga menunjukkan peningkatan 14,75% dari periode sebelumnya.
Belum lagi, manajemen perusahaan tersebut berencana melakukan ekspansi bisnis, mengoptimalkan gedung baru, dan menggelontorkan lebih banyak modal kerja. Bisa diperkirakan kalau labanya akan terus bertumbuh sepanjang tahun ini.
Jadi, kalau semua data itu menunjukkan bahwa bisnis perusahaan sedang cerah, mengapa saya mesti takut menggenggam sahamnya lebih lama hanya karena sentimen negatif yang sifatnya sementara? Atas dasar itulah kemudian saya mantap menambah saham tersebut, dan kini, saat tulisan ini dibuat, harganya sedang berbalik naik.
Strategi averaging down umumnya cocok diterapkan pada saham-saham bluechip. Sebab, selain punya fundamental yang bagus, saham tersebut juga biasanya mampu bangkit lebih cepat setelah harganya jatuh.
Saham INDF (PT Indofood Sukses Makmur Tbk) bisa menjadi contoh. Sepanjang tahun 2018, kinerja saham INDF kurang begitu memuaskan. Di laporan keuangan kuartal I, II, dan III, perusahaan mencatatkan laba yang lebih rendah daripada periode sebelumnya. Makanya, jangan heran, harganya pun luruh perlahan sejak tanggal 8 Januari hingga 11 November 2018.
Hal itu boleh disebut sebagai sebuah "anomali". Sebab, kalau kinerja perusahaan kurang "tokcer" begitu, seharusnya investor enggan membelinya. Akan tetapi, yang terjadi di bursa justru sebaliknya. Investor malah beramai-ramai memborong sahamnya.