Apakah secara naluriah, masyarakat memang menyukai sesuatu yang "gratis"? Bisa saja. Sehubungan dengan hal itu, pikiran saya terpental pada hasil penelitian Dan Ariely, yang dituangkan dalam bukunya Irrational Customer. Dalam buku itu, ia menyingkap fenomena kata "gratis". Bahwa kata itu ternyata memang mempunyai "daya magis", yang bisa menyedot perhatian banyak orang.
Untuk mengujinya, Dan kemudian memberi sebuah kuis yang unik. Kuisnya kira-kira begini. Pikirkan dengan cepat: Kalau Anda mendapat hadiah berupa smartphone, smartphone mana yang Anda pilih: smartphone A senilai 1 juta "gratis" atau smartphone B senilai 2 juta tapi dapat menebusnya dengan membayar seharga 500 ribu?
Umumnya orang akan memilih smartphone A senilai 1 juta "gratis". Namun, coba hitung lagi. Bukankah kita akan untung 1,5 juta kalau memilih smartphone B senilai 2 juta seharga 500 ribu? Sebab, kita akan mendapat smartphone yang kualitasnya lebih baik dengan harga 500 ribu saja.
Kata "gratis" yang melekati semua hal memang dapat "merangsang" emosi kita. Makanya, setelah mendengar kalau ada barang yang diberikan secara "gratis", pikiran kita langsung "dibanjiri" euforia. Tanpa berpikir panjang, kita langsung bertindak, dan itu tentu berisiko menimbulkan masalah pada kemudian hari.
Semoga saja ke depannya masyarakat bisa bersikap bijak sewaktu menerima suatu info dari media sosial, terutama sesuatu yang berbau "gratis".
Salam.
 Adica Wirawan, Founder of Gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H