Ada begitu banyak cara untuk "mengeruk" pundi-pundi rupiah di dunia maya. Satu di antaranya ialah dengan menyebarkan kupon hadiah palsu lewat media sosial. Setidaknya itulah yang saya alami kemarin. Pada saat itu, seorang teman men-share informasi kupon hadiah dari gerai makanan siap saji di grup Whats App. Di dalamnya terdapat sebuah link, yang bisa diakses untuk mendapat kupon tersebut.
Tawarannya memang "menggoda" hati. Sebab, tersedia kupon makan gratis senilai 225 ribu rupiah, yang bisa ditukar di gerai tersebut. Dengan demikian, seseorang bisa menikmati berbagai menu di gerai itu secara cuma-cuma.
Makanya, jangan heran kalau banyak orang yang kemudian tertarik mencoba, dan men-share info itu ke grup lainnya. Dalam waktu singkat, beberapa chat dari teman lain masuk ke akun Whats App saya. Isinya sama. Semuanya soal kupon makan gratis. Tak disangka, informasi itu dapat menyebar sedemikian cepat dalam hitungan jam saja.
Sayangnya, itu hanyalah kabar palsu. Sebab, beberapa jam kemudian, lewat akun resmi media sosialnya, manajemen gerai tersebut memberi klarifikasi bahwa informasi itu hoax alias bohong 100%. Akhirnya, kecewalah orang-orang yang sempat "termakan" iming-iming makan gratis di gerai tersebut.
Sewaktu menerima informasi hoax tersebut, saya sebetulnya sudah tahu kalau itu hanyalah akal-akalan seseorang di luar sana yang memanfaatkan media sosial dan mungkin "kenaifan" masyarakat untuk mencari keuntungan finansial. Sebab, link yang ditulisnya bukanlah link situs resmi gerai makanan tersebut. Jadi, sudah jelas kalau info itu fiktif.
Namun, yang bikin saya heran ialah betapa cepatnya info itu tersebar. Buktinya, hanya dalam hitungan jam saja, tab saya "riuh" dikirimi info yang sama. Walah! Sepertinya, banyak juga orang yang "terhipnotis" pesan demikian sehingga "gencar" berbagi hoax di media sosial.
Lewat kasus tersebut, saya jadi mencatat beberapa hal sebagai "bahan renungan". Pertama, masyarakat ternyata masih belum menerapkan prinsip "saring sebelum sharing" saat mendapat sebuah informasi. Makanya, begitu mendapat info yang menarik hati, orang-orang langsung menyebarkannya ke pihak lainnya tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dulu. Akhirnya, terciptalah pesan berantai di grup media sosial, seperti kasus kemarin.
Padahal, hal itu tentu berbahaya dilakukan. Sebab, bisa saja, link yang dicantumkan di teks pesan akan mengarahkan kita pada situs-situs tertentu. Kalau sudah terjadi demikian, kita bisa terkena phising. Phising ialah upaya pencurian data dengan cara meminta seseorang untuk memasukkan informasi pribadi ke sebuah situs tertentu.
Makanya, jika sudah terjerat phising, data-data penting kita, seperti alamat email, password, dan nomor rekening, bisa "dicomot" oleh oknum-oknum tertentu untuk tindak kejahatan, penipuan, dan pembobolan rekening.
Untungnya, link yang kemarin ditulis di pesan itu hanyalah sebuah scam. Tidak ada aktivitas pencurian data di situ. Sebab, si pembuat pesan cuma mengarahkan masyarakat untuk mengunjungi sebuah situs dan mengeklik iklan yang terpajang di situ. Jadi, motifnya jelas. Si pembuat pesan ingin "mendulang" rupiah lewat fitur pay per click, yang umum diterapkan di sejumlah situs.
Kedua, penyebaran info tersebut juga mencerminkan pola pikiran masyarakat terhadap sesuatu yang berbau "gratis". Sepertinya, semua hal yang diberi label "gratis" mampu memikat mata dan hati banyak orang. Makanya, jangan heran kalau promo makan gratis tersebut laris dicari, diburu, dan disebarkan.