Kesehatan ialah kekayaan yang utama. Setiap orang mungkin setuju dengan pernyataan tersebut. Sebab, tanpa kesehatan yang prima, seseorang akan sukar menikmati kekayaan lain yang dimiliknya.
Makanya, sebagai satu "aset" yang penting, kita wajib menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai lantaran merasa jarang terkena penyakit, kita abai memelihara pola hidup sehat, sehingga ujung-ujungnya kita menyesali keadaan begitu tahu terserang penyakit yang lumayan parah pada kemudian hari.
Kalau sudah terjadi demikian, kita tentu akan mengalami kerugian. Sebab, kita mesti "menggelontorkan" cukup banyak biaya untuk berobat. Hal itu tentunya akan "menguras" keuangan pribadi manakala kita tidak memproteksi diri dengan layanan kesehatan.
Untungnya, kini negara hadir menyediakan jaminan layanan kesehatan lewat BPJS Kesehatan, yang menjangkau masyarakat secara keseluruhan. "Keterjangkauan" itu tak hanya meliputi jumlah pesertanya, tetapi juga mencakup nominal premi yang mesti disetorkan.
Makanya, layanan BPJS Kesehatan bisa diakses oleh setiap orang. Sebab, dengan hanya menyisihkan nominal sebesar Rp 80 ribu, seseorang ikut berpartisipasi di dalamnya, sekaligus membantu orang lain yang sedang terkena penyakit. Hal itu tentunya sesuai dengan semangat BPJS Kesehatan yang tercermin lewat tagline "dengan gotong-royong semua tertolong".
Oleh sebab itu, semua peserta BPJS Kesehatan mendapat jaminan layanan fasilitas kesehatan dengan kualitas baik seberat apapun penyakit yang diidap. Atas layanan demikian, jangan heran kalau jumlah peserta BPJS Kesehatan terus naik setiap tahunnya. Kini peserta BPJS Kesehatan tercatat mencapai angka 197,4 juta jiwa, atau naik sekitar 10 juta jiwa sejak akhir tahun 2017.
Tak hanya jumlah peserta, indeks kepuasan peserta juga mengalami hal yang sama. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam acara Public Expose Laporan Keuangan dan Laporan Pengelolaan Program Tahun 2017, indeks tersebut menyentuh angka 79,5%, yang artinya peserta mayoritas mengaku puas terhadap layanan kesehatan yang diberikan kesehatan.
Sebut saja beberapa penyakit "kelas berat" yang menyedot biaya pengobatan yang tinggi, seperti penyakit jantung, thalassemia, dan hemofilia. Tanpa lindungan jaminan kesehatan, seperti BPJS Kesehatan, masyarakat berisiko kehabisan dana untuk pengobatan.
"Kalau dihitung-hitung, operasi jantung bisa habis ratusan juta rupiah. Biaya cuci darah sebulan bisa menghabiskan belasan juta. Biaya pengobatan penyandang thalassemia dan hemofilia bisa mencapai jutaan rupiah. Mungkin pada awalnya, kalangan masyarakat yang mampu masih bisa menanggung biayanya. Tapi lama-kelamaan pasti ada satu titik dimana mereka tidak mampu lagi untuk membiayai penyakit-penyakit tersebut," terang Fachmi.
Hal senada juga disampaikan oleh Teguh Dartanto, Dosen Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Dalam presentasinya pada acara Public Expose tersebut, Teguh bahkan menyebut dampak lain, yaitu soal jeratan utang. Menurutnya, kalau tidak punya BPJS Kesehatan, 290-320 ribu orang miskin mungkin akan rawan terjerat utang.