Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Ikigai", Lebih dari Sekadar "Bangun Pagi"

29 November 2017   10:32 Diperbarui: 29 November 2017   14:34 2498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana pagi yang indah di bogor (sumber: dokumentasi pribadi)

Bagi sebagian orang, khususnya yang berdomisili di kota-kota besar, bangun pagi mungkin terasa "berat" dilakukan. Maklum saja, dengan ritme kerja yang panjang, cukup banyak masyarakat di perkotaan yang baru beristirahat jelang tengah malam. Belum lagi, insomnia kini sering menyita "jatah tidur" masyarakat, sehingga ada orang yang bahkan terus terjaga biarpun jam sudah menunjukkan pukul dua subuh!

Hal itulah yang kemudian menyebabkan sebagian orang susah bangun pagi. Saya pun mengalami hal tersebut. Sejak bekerja di kawasan Jakarta Selatan, saya terbiasa bangun jam enam pagi. Padahal, sebelumnya, saya sering bangun pada jam limaan. Hal itu wajar terjadi sebab hampir setiap hari, saya pulang kerja sekitar pukul delapan dan baru beristirahat sekitar pukul sepuluh-sebelas malam. Oleh sebab itu, "ritme istirahat" saya pun ikut berubah.

Biarpun cukup beristirahat, terkadang saya "merindukan" suasana pagi. Sebab, dulu saya cukup sering menyaksikan pemandangan matahari terbit di ufuk timur. Biasa? Mungkin saja. Namun, bagi saya, saat semburat cahaya jingga "menyepuh" awan di angkasa raya dan kemudian menyinari kelopak bunga yang tumbuh secara alami di halaman depan rumah, hati ini terasa "sejuk". Apalagi udara yang berembus pada waktu pagi terasa lebih segar, jauh dari asap kendaraan yang terkadang bisa bikin dada terasa sesak manakala kita terlampau sering menghirupnya.

semangat bangun pagi (sumber: dokumentasi pribadi))
semangat bangun pagi (sumber: dokumentasi pribadi))
Pagi menawarkan sebuah "inspirasi". Makanya, jangan heran kalau sejumlah penulis terbiasa membuat karya pada pagi hari. Sebut saja penyair Sapardi Djoko Damono dan esais Goenawan Mohamad. Kedua penulis kenamaan tanah air itu mengaku lebih enak berkarya pada pagi hari. Makanya, cukup banyak karya mereka yang "lahir" pada pagi hari.

Saya pun demikian. Saya senang menulis artikel pada pagi hari karena kepala saya masih "adem", belum "panas" akibat diinterupsi oleh beban pekerjaan dan percintaan. Cieileeeee. Makanya, jika ada waktu senggang, sebelum bekerja menyelesaikan suatu proyek, saya biasanya "melahirkan" tulisan singkat, seperti tulisan ini.

Pagi juga membuat kita punya waktu untuk diri sendiri. Nah, kalimat itu barangkali lebih tepat "dialamatkan" kepada orang yang supersibuk karena hampir setiap harinya rutin "dihajar" kerjaan dan kemacetan. Bisa dibayangkan betapa jenuhnya kalau kita berangkat kerja pagi-pagi dan pulang malam-malam sehingga jarang "bertemu" sinar matahari. Hahahahahahahahahahahahaha.

Hampir semua waktu terpakai untuk urusan kantor dan perjalanan. Makanya, kita jarang punya waktu untuk diri sendiri. Bukankah kita bisa pergi berlibur untuk "memanjakan" diri? Bisa saja. Namun, bukan itu yang saya maksud dengan "waktu untuk diri" sendiri. Bagi saya, "waktu untuk diri sendiri" adalah sebuah momen yang mana kita bisa berbicara dengan diri kita sendiri.

Barangkali kita bisa menyebutnya "kontemplasi". Dalam momen tersebut, kita dapat menyimak "suara hati" kita tanpa disela oleh pelbagai keluhan. "Suara nurani" itulah yang jarang punya kesempatan untuk didengar. Kita terlampau sibuk mendengar suara orang lain alih-alih suara kalbu sendiri. Makanya, pagi bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk menyimak suara hati kita. Saat belum punya kesibukan, kita bisa mendengarnya dengan jernih.

Pagi dapat pula menjadi sebuah alasan kita hidup. Agak aneh memang. Namun, saya menyerap konsep itu dari falsafah hidup orang Jepang, yaitu ikigai. Bagi masyarakat Jepang, ikigai lebih dari sekadar bangun pagi. Ikigai adalah motivasi hidup.

Saya pertama kali mengenal konsep ikigai lewat buku The Blue Zones, karya Dan Buettner. Buku itu mendokumentasikan cara hidup orang-orang berumur panjang, yang tersebar di sejumlah negara. Satu negara yang disambangi oleh Dan ialah kepulauan Okinawa, Jepang. Di situ hidup manusia-manusia berumur di atas seratus tahun.

Dan Buettner dibikin takjub oleh semangat hidup para manula tersebut! Pasalnya, biarpun sudah berusia sepuh, mereka tetap rajin bangun pagi dan bekerja keras sepanjang hari. Pernah Dan bertanya kepada seorang nenek yang telah berusia lebih dari seratus tahun tentang alasan dia sering bangun pagi. Lewat seorang penerjemah, nenek yang bertugas menjadi penjaga Kuil Shinto itu menjelaskan harus bangun pagi karena punya kewajiban yang harus dilakukan untuk peribadatan di kuil! Itulah alasannya terus hidup. Itulah ikigai yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun