Sejak bekerja di sebuah startup beberapa hari yang lalu, saya sempat mendapat culture shock lantara budaya kerja yang terlihat di kantor baru sangat "kontras" bedanya dengan suasana kerja kantor yang dulu. Kalau dulu saya dituntut datang tepat waktu, terus "diawasi" sewaktu bekerja, dan dikejar-kejar deadline yang sering bikin stres, di kantor baru, rutinitas kerjanya justru lebih kasual.
Semua itu dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh para karyawan. Di tempat saya bekerja sekarang, pakaian bukanlah suatu syarat yang terlalu diperhatikan. Makanya, saya melihat cukup banyak karyawan yang memakai kemeja kasual. Beberapa karyawan bahkan terlihat memakai kaos tanpa kerah. Oleh sebab itu, saya merasa kalau kantor yang menjadi "arena" untuk menggarap suatu proyek itu lebih mirip rumah.
Belum lagi, tugas yang diberikan pun tidak terlalu berat dan sarat. Soalnya, karyawan bebas mengerjakan semua tugas sambil mendengarkan musik. Penggunaan smartphone pun dibolehkan selama bekerja. Makanya, saat merasa suntuk, karyawan bisa chatting, membaca berita, atau bahkan menonton youtube.
Sewaktu mengamati lingkungan kantor yang baru, sekilas saya teringat sebuah artikel yang memaparkan prinsip Reed Hastings, bos Netflix, dalam mengelola karyawannya. Dalam membesarkan perusahaannya, Hastings setidaknya menjalankan dua prinsip, yaitu freedom dan responsibility.
Makanya, karyawan yang bekerja di Netflix tak harus memenuhi kewajiban bekerja sekian jam dalam seminggu. Mereka juga boleh mengerjakan tugasnya di mana pun, tidak harus duduk berjam-jam di kantor seperti umumnya.
Namun, jelas, pekerjaan itu harus diselesaikan apa pun alasannya. Bagi Hastings, setiap karyawan mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing. Jadi, tak ada istilahnya "oper tugas" manakala ada seorang karyawan yang tak sanggup menyelesaikan suatu tugas. Kalau sampai terjadi demikian, karyawan yang bersangkutan akan mendapat "bonus" berupa kantor baru alias dipecat.
Pola Bekerja yang Cocok dengan Millennials
Suasana kerja demikian terasa pas untuk kalangan milenial. Betapa tidak, asalkan bisa tetap connect dengan internet dan bebas mengatur diri, pekerja millenial sudah cukup puas, lantaran kebutuhannya telah terpenuhi.
Namun, sayangnya, tak semua perusahaan memiliki kultur demikian. Soalnya, mayoritas perusahaan masih menerapkan kultur kerja yang diwariskan oleh Generasi X. Makanya, jangan heran kalau perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai suasana kerja yang "kaku" dan "formal".
Hal itu tentunya berdampak pula pada performa karyawan. Lantaran hanya tersedia sedikit ruang dalam berekspresi, kreativitas yang ditunjukkan oleh karyawan menjadi mandek.
Padahal, kreativitas ialah salah satu elemen "kunci" dalam mendongkrak performa perusahaan agar mampu bersaing pada era digital seperti saat ini. Tanpa kreativitas, tentu tak ada inovasi, dan kalau "mandul" inovasi, suatu perusahaan harus bersiap-siap terpental dalam persaingan bisnis yang ketat dan kejam.
Makanya, sejumlah perusahaan kemudian bertransformasi dalam menata lingkungan kerja para karyawannya. Sebut saja suasana kantor Google, Facebook, Tokopedia, dan Jenius, yang menyerupai "ruang bermain".
Namun demikian, apakah mayoritas perusahaan di indonesia "mau" dan "siap" melakukan sejumlah terobosan demikian? Saya rasa itu butuh waktu yang agak lama. Mungkin saat Generasi Y alias Milenilas menduduki posisi direksi, barulah hal itu dapat terwujud.
Salam.
 Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H