"Bila engkau manusia, aku akan menikahimu."
Kalimat puitis itu adalah sebuah penggalan larik lagu 'Nasi Padang' yang dinyanyikan oleh Audun Kvitland Rostad. Lewat lagu itu, pria yang berprofesi sebagai pencipta lagu khusus film itu mencoba “mengekspresikan” emosinya terhadap kuliner khas Indonesia, yaitu nasi Padang.
Sejak dipublikasikan di Youtube pada tanggal 4 Oktober 2016, lagu itu kemudian menjadi viral yang terus saja dibicarakan sampai sekarang. Inspirasi penciptaan lagu itu sebetulnya muncul tanpa sengaja sewaktu Audun pergi berlibur ke Indonesia selama tiga minggu pada bulan Juli lalu. Setelah puas meneroka sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, Lombok, dan Labuan Bajo, ia pun memutuskan kembali ke negara asalnya, Norwegia.
Namun, sehari sebelum pulang, ia menyempatkan diri 'berwisata kuliner'. Ia tertarik mencoba nasi Padang untuk 'memanjakan' lidahnya terhadap masakan khas Indonesia.
Sensasi pedas nasi Padang yang disantapnya ternyata membuatnya langsung terpincut. Sensasi itu rupanya masih saja 'awet' bertahan di lidahnya biarpun ia sudah kembali ke negaranya berbulan-bulan kemudian. “Rasanya ngangenin.” Mungkin itu bahasa sederhana yang dapat menggambarkan perasaan Audun terhadap masakan padang.
Akhirnya, alih-alih menahan rindu di hati saja, ia memilih mengekspresikan perasaan itu lewat larik-larik lagu. Setelah dua jam ia bergulat dengan rasa rindunya, terciptalah lagu 'Nasi Padang', yang banyak disukai orang.
“Lambat. Ritmis. Romantis.” Itu adalah tiga kata yang terlintas dalam pikiran saya sewaktu menyimak lagu itu. Walaupun lagu itu dominan dinyanyikan dalam Bahasa Inggris, nuansa Indonesia terasa sangat kental di dalamnya. Dalam larik-larik lagu itu, Audun menggambarkan cara makan nasi Padang yang pernah dilakukannya: langsung dengan menggunakan tangan.
Bagi kita, orang Indonesia, makan dengan cara seperti itu adalah sesuatu yang sangat lumrah terjadi. Namun, bagi orang asing, seperti Audun, cara itu ternyata menciptakan pengalaman yang berbeda. Oleh sebab itu, ia pun sampai terkesan oleh 'teknik' menyantap makanan, yang mungkin jarang dilakukannya di negara asalnya.
Bagi saya, yang unik dari lagu itu tak hanya menguak pesona kuliner khas Nusantara lewat untaian liriknya, tetapi juga dipublikasikan bertepatan dengan bulan bahasa. Bulan bahasa memang selalu diperingati setiap Oktober. Mengapa demikian?
Semua itu berawal dari peringatan Sumpah Pemuda II yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda, anak muda dari pelbagai wilayah menyatakan diri, salah satunya, berbahasa persatuan: bahasa Indonesia. Sejak saat itu, bangsa Indonesia mempunyai identitas kebahasaan yang jelas. Maka, berdasarkan sejarah, bulan bahasa kemudian ditetapkan setiap Oktober untuk mengenang deklarasi Sumpah Pemuda yang telah disampaikan beberapa dekade silam.
Kini Bahasa Indonesia sudah berkembang dengan pesat. Tak hanya mengalami pemuktahiran kosakata, ejaan, dan tata bahasa, Bahasa Indonesia juga sudah menjadi bahan pelajaran di sekolah-sekolah di sejumlah negara. Lantaran animo masyarakat asing yang tinggi terhadap penguasaan Bahasa Indonesia, pada tahun 2012, saya menulis sebuah artikel sederhana yang isi memaparkan visi bahwa bahasa Indonesia kelak akan menjadi bahasa utama Asean.