“Seks adalah ekspresi cinta antara laki-laki dan perempuan yang sudah diikat oleh tali pernikahan secara sah,” katanya. “Kalau dilandasai oleh cinta, seks adalah berkah. Namun demikian, seperti kita mendaki gunung, seks itu memberi kenikmatan, juga melelahkan.”
Saya menyetujui penjelasan tersebut dan penjelasan tersebut mirip dengan pandangan Paulo Coelho, yang berbunyi, “The greatest pleasure isn't sex, but the passion with which it is practiced.” (sumber dikutip dari situs Good Reads)
Pengenalan Gender
Edukasi seks dapat berawal dari pengenalan perbedaan gender. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah proses kognitif. Dalam buku Psikologi Edisi Ke-9, Carole Wade dan Carol Tavris menjelaskan bahwa berdasarkan perkembangan kognitifnya, seorang anak sudah mampu mengenali perbedaan antara laki-laki dan perempuan sejak usia 9 bulan.
Pengetahuan tersebut kemudian diperkuat oleh perlakuan lingkungan terhadap anak. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki cenderung diperlakukan sebagai anak lelaki oleh orangtuanya. Anak tersebut dipakaikan baju-baju yang terlihat lebih maskulin dan diberi mainan, seperti mobil-mobilan, dan robot-robotan. Pun demikian anak perempuan diharuskan berperilaku seperti anak perempuan lainnya dengan bermain boneka atau masak-masakan.
Walaupun sudah mengetahui perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, karena merasa ingin tahu, seorang anak mungkin saja mengajukan pertanyaan tentang fungsi organ reproduksinya. Orangtua yang mendapat pertanyaan tersebut tentunya sulit menjawabnya.
Orangtua tidak bisa berkata-kata karena tidak mengetahui cara menjelaskannya. Akhirnya orangtua hanya bisa menghindar, atau memberi jawaban yang kurang jelas. Alih-alih memahami jawaban tersebut, anak mungkin saja bisa salah kaprah.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, orangtua tentu dapat membawa anaknya berkunjung ke Museum Tubuh, misalnya. Di situ anak akan mempelajari seluk-beluk mekanisme setiap anggota tubuhnya, termasuk organ reproduksi.
Tentu saja informasi yang disampaikan ke anak tersebut harus disesuaikan dengan usianya. Untuk anak yang masih balita, misalnya, kita dapat mengenalkan organ reproduksi dengan menggunakan cerita atau perumpamaan.
Sementara itu, anak yang berusia 7-12 tahun dapat diberi informasi yang lebih konkret, seperti anatomi tubuhnya. Kemudian, untuk anak berusia 13 tahun ke atas, kita dapat mengajarkan filosofi, seperti “Seks harus didasari oleh perasaan cinta,” atau “Seks itu hanya boleh dilakukan oleh lelaki dan perempuan yang sudah terikat pernikahan suci.” (Untuk penjelasan soal mendidik anak, silakan baca tulisan saya: Gandrung Pokemon Go & Kesehatan Mental Remaja)
Sayangnya museum seperti itu sedikit sekali jumlahnya di negara ini. Untuk bisa memakai fasilitas yang terdapat di museum tersebut, kita harus menempuh jarak yang jauh dan tentunya ongkos yang besar. Oleh sebab itu, museum tersebut sudah seharusnya dibangun kota-kota lainnya sehingga masyarakat luas pun dapat memetik manfaat dari museum tersebut.