Pertandingan antara kesebelasan Inggris dan Rusia menyisakan cerita pahit. Pertandingan yang berakhir dengan skor 1-1 tersebut diwarnai oleh bentrokan antara suporter Inggris dan suporter Rusia. Keributan tersebut tak hanya terjadi di dalam Stadion Marseille, tetapi juga sampai berlangsung di luar stadion. Untuk mengatasi kerusuhan tersebut, polisi setempat terpaksa menembakkan gas air mata. Sampai tulisan ini diturunkan, kesebelasan Inggris dan Rusia pun terancam terkena sanksi berupa diskualifikasi dari ajang Piala Eropa 2016.
Dalam dunia sepak bola, keributan semacam itu sering disebut hooliganisme. Secara sederhana, hooliganisme adalah serangkaian aksi anarki yang dipicu oleh kemarahan sekelompok suporter yang tidak terima atas hasil sebuah pertandingan.
Istilah hooliganisme awalnya bermula dari Inggris. Istilah tersebut mempunyai akar kata hooligans. Berdasarkan sejarahnya, konon kata hooligans sendiri berasal dari sebuah novel karangan Clarence Rook, yaitu The Hooligans Night, yang diterbitkan pada tahun 1899. Novel tersebut menceritakan seorang remaja bernama Alf, yang hidup di lingkungan yang penuh kekerasan, perampokan, dan aksi kriminal lainnya.
Oleh sebab itulah kebrutalan lingkungan yang dideskripsikan dalam novel tersebut kemudian diidentikkan pada kata hooligans. Kemudian, kata tersebut disematkan untuk suporter Inggris yang doyan bikin kegaduhan, dan kini kata tersebut berkembang maknanya menjadi hooliganisme yang bermakna ‘kekisruhan yang terjadi di lapangan sepak bola.’
Ikatan Emosi
Hooliganisme sebetulnya bersumber dari ikatan emosional yang terlalu erat. Ikatan tersebut mewujud dalam bentuk sikap fanatik, diskriminatif, dan kebanggaan yang berlebihan terhadap sesuatu. Jadi, kalau terjadi sesuatu yang buruk pada objek yang disayanginya, seseorang cenderung mengungkapkan kemarahan, kedongkolan, kebencian, dan emosi negatif lainnya.
Sebagai contoh, sewaktu kecil, saya pernah melihat dua orang ibu berkelahi di sekolah lantaran membela anaknya. Pada mulanya si anak berkelahi dengan anak lain karena suatu alasan. Alih-alih melerai dan mendamaikan, ibu dari kedua anak tersebut malah saling menyalahkan dan membela anaknya sendiri.
Kemudian, terjadilah perang mulut yang segera menarik perhatian. Begitu pihak sekolah datang, pertengkaran tersebut dapat diselesaikan dan salah satu ibu yang bertengkar tersebut mengucapkan dengan suara penuh kemarahan bahwa ia akan memindahkan anaknya dari sekolah tersebut, dan demikianlah yang terjadi.
Kedua ibu tersebut jelas mempunyai ikatan emosi yang kuat terhadap anaknya. Walaupun anaknya jelas-jelas sudah membuat kesalahan, ibu tersebut tetap membelanya, dan bahkan menyerang pihak lain yang sudah menyalahkan anaknya.
Hal yang sama juga berlaku dalam sepak bola. Saat wasit membuat putusan yang kurang adil, suporter lawan menyampaikan ejekan yang rasis, para pemain saling berkelahi di lapangan, semua itu dapat memicu hooliganisme. Suporter menjadi defensif dan cenderung melakukan perbuatan anarki apabila suasana betul-betul memanas.
Kesadaran Diri
Hooliganisme sebetulnya dapat diatasi dengan pengendalian diri yang kuat. Jadi, kalau Anda berada dalam situasi yang menegangkan dalam stadion, atau tempat-tempat lainnya, kesadaran diri adalah kunci untuk mengatasi persoalan tersebut. Kita harus tetap berpikiran dingin dalam situasi yang memanas. Kita harus berpikir jernih supaya tidak terseret dalam kerusuhan.
Saya belum pernah mengalami kerusuhan sewaktu menonton sepak bola di stadion, tetapi saya pernah mengalami peristiwa serupa. Pada sore hari, saya pulang kuliah naik metromini. Dalam metromini tersebut terdapat sejumlah penumpang yang kebanyakan ibu-ibu kantoran. Kemudian naiklah sekelompok anak SMA ke dalam metromini sehingga metromini tersebut menjadi lebih padat. Saya berada di kursi belakang, di tengah-tengah anak SMA yang sedang berdiri.