Mohon tunggu...
Adib Yabani
Adib Yabani Mohon Tunggu... Bisnis -

Someone who will lost someday

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Maya

28 April 2012   08:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Adib Yabani*

Aku dapat memaklumi kalau berangan untuk masa depannya saja ia tak mampu. Aku sadar beban hidupnya terlalu berat untuk orang sepolos dan selugu dia. Ia tak pantas menanggung beban itu. Kenyataan terlalu kejam telah merampok cita-citanya. Dan semua itu sama sekali bukan karena kesalahannya. Benar-benar bukan salahnya.

Malam ini sambil menunggunya datang aku teringat masa-masaku dengannya empat tahun silam. Aku teringat saat-saat aku dan dia bersama berhayal tentang hubungan, tentang mimpi-mimpi, tentang sketsa masa depan. Mungkin itu adalah masa terindah dalam dua puluh tiga tahun hidupku. Suatu hal yang telat kusadari. Jika aku mampu jujur pada diri sendiri, ia telah memberi arti yang besar dalam perjalananku sampai titik ini.

Malam ini aku menunggunya di restoran tempatku dengannya dulu sering manghabiskan malam. Di meja yang sama. Salah satu meja diantara tujuh meja di ruangan terbuka di retoran ini. Masih ada sisa-sisa air hujan di lantai pavlingnya, bekas gerimis dari sore. Suasana tempat ini banyak mengingatkanku tentangnya.

Perpisahanku dengannya berawal saat aku harus kuliah di luar negeri. Aku sempat ragu kuliah di luar, aku tak mau meninggalkannya, aku belum siap untuk jauh darinya. Namun, seperti biasa ia meyakinkanku. Meyakinkan bahwa itu adalah yang terbaik untukku, untuk mimpi-mimpiku. Dan seperti biasanya pula, akupun luluh.

Tahun pertama komunikasiku dengannya berjalan baik. Tapi di tahun kedua aku tak dapat menghubunginya. Ia hilang seperti di telan bumi. Baru tiga bulan terakhir ini aku kembali dapat menghubunginya setelah lama risau tak mengetahui kabar tentangnya.

Kini semuanya tinggal masa lalu. Aku dan dia sekarang sudah ada pada dunia yang berbeda. Ia sekarang sudah memilih sendiri jalannya, atau lebih tepatnya ia terpaksa memilih jalan itu. Jalan kelam.

Semua berawal saat ayahnya dipenjara karena kasus korupsi yang aku tahu betul ayahnya tak mungkin melakukan itu. Semua hartanya disita. Ia, ibu, dan kedua adiknya tidak diwarisi apapun kecuali aib hingga ia dicampakkan lingkungan dan bahkan keluarganya. Ibunya kemudian sakit dan meninggal lima bulan setelah ayahnya dipenjara.

Ia terpaksa menjadi tulang punggung adik-adiknya. Awalnya ia mencoba bekerja diberbagai tempat. Namun semua orang menolaknya. Namanya telah menjadi aib. Hingga akhirnya ia tersesat pada lembah yang kelam. Lembah yang menerima wanita manapun yang mau menggadaikan dan menjual aset paling berharga yang dimilikinya. Tak peduli itu karena terpaksa atau dipaksa.

Aku merasa menjadi orang yang paling tak berguna, paling menyesal, saat tahu kabar itu dua bulan lalu. Rina, teman lamaku yang menceritakan. Hatiku tercabik-cabik saat mendengarnya. Aku mencari alasan kenapa ia tak mencariku ketika sedang sulit. Aku mencoba mencari alasan kenapa ia, orang yang kukenal begitu periang, lugu, polos, bisa-bisanya sampat seperti itu. Aku tak menemukan jawaban.

Aku masih ingat betul sudut-sudut wajahnya saat ia tersenyum, bercanda, tertawa ataupun saat ia menangis.  Aku tak akan pernah melupakan itu. Tak bisa. Sudah sangat lama aku tak melihat itu lagi.

***

Setelah sejam menunggu, ditengah lamunanku, aku mendengar suaranya, terdengar dekat dibelakangku.

“Malam Lan”.

Seketika aku menoleh, menatap matanya dalam-dalam. Ia tersenyum. Suatu senyum yang sulit kuterjemahkan. Aku langsung memeluknya. Erat. Lama. Mataku berkaca-kaca. Aku terisak.

“Sudahlah” katanya. Ia kemudian melepas pelukanku dengan lembut, lalu duduk. Aku mengikuti.

Untuk sesaat suasana menjadi hening. Terasa sulit bagi mulutku untuk mengawali pembicaraan. Aku hanya menatapnya dalam-dalam. Ia hanya menunduk. Aku mengamatinya, mengamati tiap sudut wajahnya. Tak kutemukan dalam dririnya sosok yang dulu sangat kukenal. Hingga akhirnya aku meraih tanggannya. Mendekapnya erat dengan kedua tanganku.

“Kenapa jadi seperti ini May” ucapku dengan lirih.

Ia menatapku. Mata kami bertemu.

“Semua yang dibilang Rina benar Lan, sekarang aku kotor” jawabnya. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.

“Tapi kenapa kamu tidak pernah bilang jika kamu sedang sulit, kenapa kamu berbohong” aku bartanya padanya lagi.

Suasana kembali menjadi hening. Ia manatap mataku. Lama. Kemudian menunduk.

“Mimpi-mimpimu itu Lan” Ia mengucapkannya dengan memalingkan wajahnya dariku, menatap kearah lain seperti sedang berpikir, lalu mentapku dengan nanar. “aku tak mau merusaknya” .

Ada rasa perih ketika aku mendengar kalimat itu. Aku menjambak rambutku sendiri.

“Sudahlah Lan, tak ada yang perlu disesali. Keadaan sudah seperti ini. Sekarang kebahagiaanku hanya saat melihat adik-adikku tumbuh dewasa, dan melihatmmu meraih mimpi-mimpimu. Itu saja”. Ia mengucapkannya dengan menatap mataku. Mencoba meyakinkanku.

“Tidak sesederhana itu May”. Aku kembali meraih tangannya, menatap matanya.

“Apa lagi” timpalnya dengan intonasi ditekan.

“Pernah kamu pikir apa yang aku rasakan melihat kamu seperti ini” tanyaku dengan sedikti emosi.

“Karena itu Lan” Ucapnya dengan nada agak keras“karena itu aku berbohong padamu. Hanya karena itu. Aku tak mau melihatmu melupakan mimpimu hanya karena keadaanku”

Mataku basah mendengarnya. Aku menunduk. Ada rasa kecewa, marah, atau entah apa persisnya.

“Maaf Lan, kalau aku membuatmu kecewa. Aku memang salah” ucapnya seakan mampu mengerti apa yang kurasakan.

Aku masih terdiam. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri. Sekitar sepuluh menit tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami berdua.

“Bahkan aku sekarang merasa tak pantas hanya itu berbicara denganmu. Aku sudah berusaha untuk menjadikan semua yang telah kita lalui sebatas imajinasiku saja. Aku berhasil meyakinkan diriku bahwa tak pernah ada sesuatu di antara kita. Awalnya memang sullit tapi keadaan memang sudah seperti ini. Aku harap kau mengerti” ucapnya dengan isak dan nada ditenang-tenangkan., menatap ke arah lain. Kemudian ia menatapku dan melanjutkan kalimatnya.

“Aku sudah berhenti kerja malam Lan, aku sudah hamil dua bulan. Minggu depan aku menikah. Seseorang mau bertanggung jawab. Ia mau menjadikanku istrinya. Yang kedua. Tapi aku yakin dia baik”.

Aku terperanjat mendengarnya. Air mataku meleleh. Tak ada satupun yang mampu kuucapkan. Aku hanya menatap wajahnya dengan tanda tanya. Air mukanya sulit untuk kuartikan.

“Aku harus pulang Lan, adik-adikku menunnggu di rumah, mereka belum makan”

“Aku antar” jawabku cepat.

“Tak usah Lan, dari tadi calon suamiku menunggu di parkiran depan”

Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya lantas berlalu meninggalkanku. Meninggalkan tanyaku. Keherananku. Tanpa ia sadari aku mengikutinya. Aku bermaksud untuk menemui calon suaminya. Meminta dia untuk menjaga Mayaku.

Dari pintu depan restoran aku tercengang melihat seseorang mencium Maya dengan mesra kemudian membukakan pintu mobil untuknya. Aku terperanjat sebab aku sangat mengenal calon suaminya itu. Aku merasa kaget, marah, kecewa, takjub, aneh, benci, entah mana yang lebih dominan. Aku melihat ayahku bersama Maya.

Malang, 27 April 2012

*) Tinggal di Pesma Firdaus Malang,

tercatat sebagai Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun