Mohon tunggu...
Adib Yabani
Adib Yabani Mohon Tunggu... Bisnis -

Someone who will lost someday

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Renungan Pagi

9 Juni 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang aneh dengan pagi ini. Mendung dan semilir angin serta daun yang menari seperti sengaja menyapa jiwaku dan mengajak berbicara. Mereka seperti hendak menyampaikan sesuatu. Satu keanehan yang sulit untuk dijabarkan. Seakan ada tatapan, belaian, pelukan, yang sungguh terasa. Menentramkan, menenangkan, mendamailkan, mendinginkan.

Aku putuskan untuksecara sederhana menikmati pagi ini. Pergi ke sawah, duduk di sudut pematangnya dan mengamati kesederhanaan angin, air, tanah dan apa saja di situ. Menikmati bahasa tubuh petani dan mengamati irama alam yang berpadu mesra sambil mencoba merangsang untuk berkomunikasi dengan nuraniku. Mencoba untuk mendengarkan teriakannya.

Ya. Nuraniku sudah seringkali berteriak, memekik meminta untuk didengar. Suaranya sekarang sudah tak selantang dahulu. Suaranya telah menyerak hingga hampir tak terdengar. Dan jika kali ini aku tak lagi mendengarnya, mungkin ia akan mati. Sementara sisi nafsuku tertawa bangga melihatnya.

Untunglah kali ini lambaian angin, suara air, dan bau pagi membantu secara sempurna untuk menyampaikan teriakan serak itu. Selama ini ada kamuflase halus yang memudarkan sekat-sekat antara nurani dan nafsu. Dan bahasa alam pagi ini membantuku untuk kembali mencoba belajar mengakuisecara jantan, dan jujur pada diri sendiri bahwa diri ini penuh dengan borok yang dikemas dalam retorika dalih dan dalil-dalil pembenaran. Belaian angin dan desahan lembutnya seakan mengatakan, mengingatkan secara lembut bahwa ada luka menganga pada hati yang gejalanya halus sampai seakan tak nampak. Kuputuskan untuk mengobati nuraniku.

***

Nampak di kejauhan seorang petani tua sedang mengayunkan cangkul sambil sesekali mengusap keringat di dahinya. Ia mengenakan pakaian coklat yang sebenarnya putih. Bahasa tubuhnya menyampaikan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Cukup lama aku mengamati itu. Tiba-tiba saja di tengah lamunanku, lambaian daun padi di depanku serempak mengatakan sesuatu. “Tidak seperti petani itu, manusia sekarang pada sibuk dengan rutinitas semu dan nonsens. Berlari berpeluh, jatuh bangun mengejar sesuatu yang mereka sendiri tak tahu benar itu apa. Entah apakah mereka sadar berlari tidak identik ke depan. Apa kau mau mengikuti itu”. Aku menunduk, berpikir dan berkata dalam hati, “ya, aku mengerti”.

Kupejamkan mataku. Menghirup bau pagi dan mendengarkan alunan gemericik aliran parit yang cukup deras tak jauh dari tempatku duduk. Aku merenungkan apa-apa yang telah lalu, tentang manusia-manusia di sekitarku dengan berbagai interaksi sosialnya. Merenung atas begitu banyaknya orang yang berdebat tentang kemanusiaan, negara, bahkan agama. Begitu banyak orang bertengkar, berkelahi, berperang memperjuangkan yang kutanya apakah benar itu kebenaran. Aku tak menemukan jawaban. Aku sudah terlalu bosan dengan itu. Syaraf-syaraf kepekaanku sudah mulai putus, karena aku sendiri yang memotongnya. Bukan apa, toh lambat laun orang-orang itu bukan hanya akan memotonya, tetapi juga menyulapnya menjadi syaraf kanibal. Aku memutuskan untuk apatis.

Namun aku kembali merenung apakah sikapku yang hanya sekedar diam, acuh, apatis, mencoba untuk tidak mau tahu, atau apalah persisnya itu, adalah satu sikap yang baik atau penyikapan yang paling bijak. Entahlah. Aku bingung betul bagaimana seharusnya menyikapi ini. Ada satu ganjalan dalam hati yang sungguh aku bingung apa itu sebenarnya.

Selepas merenungi itu pikiranku sibuk mencari-cari arti diriku di masa lalu dan sekarang. Apakah arti yang selama ini terbentuk adalah sesuatu yang benar-benar kuinginkan. Apakah gambar-gambar yang kuingat dan pola-pola tersembunyi yang tersemat mengandung kunci desain hidup yang kuharapkan. Bagaimana jika rutinitasku tidak pernah menemukan kunci itu. Atau bagaimana jika justru aku tak pernah benar-benar memahami kunci itu. Akan jadi apa aku.

Gambar-gambar yang tidak menyatu menari-nari di kepalaku. Dan selintas saja muncul di kepalaku suatu kesimpulan aneh. Perbudakan total. Sedikit-banyak aku menyadari itu, tetapi implikasi dari kesadaran itu nol. Aku sadar bahwa diri ini terkungkung pada perbudakan dan sama sadarnya bahwa aku sulit, atau lebih tepatnya tak pernah mau keluar dari perbudakan itu.

Sudah tentu semua yang kupikirkan, kurasakan, dan kujalani menjadi semacam metafora untuk rasa takut akan masa yang akan datang. Di balik itu semua dapat ditarik garis bahwa ini semua semata-mata tentang ruang dan waktu. Keduanya adalah variabel yang memvonis bagaimana ‘arti’ itu di masa yang akan datang. Dan mereka mencakup sesuatu yang tak dapat ditarik ulang hingga membentuk secara adil arti hitam diriku sekarang.

Kucoba untuk menyampaikan itu pada alam, pada angin, pada gemericik air. Mereka malah tertawa. Menertawaiku atas sikap dan pikiranku yang seperti itu. Kali ini aku tak mengerti kenapa mereka tertawa.

Malang, 9 Juni 2012

09.03 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun